TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS

 

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

NOTARIS

 

A.    NOTARIS

1.      Pengertian Notaris

Notaris, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan “notary”, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan “van notaris”, mempunyai peranan yang penting dalam lalu lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum keperdataan, karena notaris berkedudukan sebagai pejabat publik, yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta dan kewenangan lainnya.[1] Pengertian tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Menurut R.Soegondo Notodisoerjo, notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaren), karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas dan kewajiban yang utama, yaitu membuat akta-akta autentik.[2] Pasal 2 angka 1 UUJN menyatakan bahwa, notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Selanjutnya, Pasal 3 UUJN dan Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2019 tentang syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Cuti, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Permenkumham Nomor 9 Tahun 2019), menjelaskan bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris, sebagai berikut:

a.       Warga negara Indonesia.

b.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

c.       Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun.

d.      Sehat jasmani dan rohani.

e.       Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan.

f.        Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan.

g.      Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris; dan

h.      Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

 

Adapun tata cara dalam pengangkatan notaris sebeagaimana yang dijelaskan dalam “Pasal 3 Permenkumham Nomor 19 Tahun 2019, yaitu:

(1)   Permohonan untuk diangkat menjadi notaris diajukan kepada Menteri dengan mengisi format isisn pengangkatan notaris secara elektronik melalui laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.

(2)   Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk 1 (satu) tempat kedudukan di kabupaten/kota atau dengan memperhatikan formasi jabatan notaris sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(3)   Permohonan pengisian format isian pengankatan notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) delaksanakan paling sedikit 1(satu) kali dalam 1 (satu) tahun

(4)   Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayart biaya akses pengangkatan jabatan notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan Negara bukan pajak di lingkungan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.”

 

Notaris adalah pejabat umum yang independen (mandiri). Seorang notaris berhak mengatur, menentukan kantor yang dikehendaki sendiri, karyawan dari segi jumlah maupun gaji, serta tidak tergantung pada pejabat maupun negara, maupun lembaga lain serta semuanya itu dengan biaya sendiri pula. Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, atau perbuatan hukum..” [3] Aktaautentik yang dibuat tersebut sejauh perbuatan akta autentik tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta yang dibuat notaris merupakan akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dengan segala akibatnya.

Menurut Ismail Saleh (dikutip dalam buku Supriadi), “ada 4 (empat) pokok hal yang harus diperhatikan  oleh para notaris adalah sebagai berikut :[4]

a.       Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus  mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segalapertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.

b.      Seorang notaris harus jujur, tidak hanya pada klien nya tetapi juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahu akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan klien nya, atau agar klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadarkejujuran intelektual seorang notaris.

c.       Seorang Notaris harus menyadari batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan, adalah bertentangan dengan perilaku profesional apabila seorang notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat kedudukannya sebagai notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya autentiknya.

d.      Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesinya, ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang.Seorang notaris yang pancasilais harus tetap berpegang teguh pada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan akat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.”

 

Pada hakikatnya notaris selaku pejabat umum, hanyalah mengkonstatir atau merelateer atau merekam secara tertulis dan autentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan. Notaris tidak berada di dalamnya, ia adalah orang luar, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang membuat serta yang terkait dalam dan oleh isi perjanjian, adalah mereka pihak-pihak yang berkepentingan. Inisiatif terjadinya pembuatan akta notaris atau akta autentik itu berada pada pihak-pihak. Oleh karena itu, akta notaris atau akta autentik tidak menjamin bahwa para pihak-pihak “berkata benar”, tetapi yang dijamin oleh akta autentik adalah pihak-pihak “benar berkata”, seperti yang dimuat di dalam perjanjian mereka.

  

2.      Tugas dan Kewenangan Notaris

Setiap jabatan yang disandang seseorang memiliki tugasnya tak terkecuali notaris yang mana dalam melaksanakan tugasnya tersebut harus sesuai dengan kode etik dan diwajibkan untuk, senantiasa menjungjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatannya,   mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara.

Selain itu notaris dalam menjalankan tugasnya, notaris juga harus memperhatikan asas-asas yang harus dijadikan pedoman, sebagai asas-asas pelaksanaan tugas jabatan notaris yang baik dengan substansi dan pengertian untuk kepentingan notaris.[5] Asas-asas tersebut adalah:

a.    Asas Persamaan

   Di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, seorang notaris tidak boleh membeda-bedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaan sosial ekonomi ataupun yang lainnya. Keadilan dan persamaan mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga perlakuan yang tidak sama, hal tersebut merupakan suatu ketidakadilan yang serius.

b.      Asas Kepercayaan

Salah satu bentuk kepercayaan bagi seorang notaris yaitu dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh notaris untuk merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan.

c.    Asas Kepastian Hukum

Kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Jadi seorang notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berlaku, yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan ke dalam akta yang juga harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sehingga apabila nantinya terjadi permasalahan, akta notaris tersebut dapat dijadikan alat bukti yang kuat.

d.      Asas Kecermatan

Seorang notaris sebelum menjalankan tugas dan jabatannya dalam mengambil suatu keputusan meneliti semua fakta yang relevan terkait hal-hal yang berkaitan dengan klien maupun akta yang dibuat. Dalam asas ini, notaris tidak diperbolehkan dengan mudah menyimpangi nasihat-nasihat hukum yang diberikan kepada notaris tersebut.

e.       Asas Pemberian Alasan

Bahwa setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris harus sesuai dengan alasan serta fakta yang terkait dengan akta tersebut.

f.        Asas Proporsionalitas

Dalam asas ini, seorang notaris harus seimbang di dalam menjalankan tugas dan jabatannya yaitu dengan tidak pilih kasih dan membeda-bedakan satu dengan lainnya dalam memberikan jasa terhadap klien berdasarkan keadaan sosial, ekonomi atau alasan lainnya.

g.      Asas Profesionalitas

Seorang notaris harus bekerja secara profesional dengan mengutamakan keahlian berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan yang diwujudkan dengan melayani masyarakat dan akta yang dibuat oleh dan  dihadapan notaris

h.      Larangan Bertindak Sewenang-Wenang

Seorang notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepadanya. Dalam hal ini, notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan apakah dapat dituangkan ke dalam bentuk akta atau tidak, dan keputusan yang diambil harus berdasar pada alasan hukum yang harus dijelaskan.

Menurut Philipus M. Hadjon “asas-asas tersebut sangat penting bagi seorang notaris agar notaris dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Untuk kepentingan pelaksanaan tugas jabatan notaris, ditambah dengan asas proposionalitas dan asas profesionalitas.” [6]

Notaris sebagai pejabat umum bertugas juga untuk membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus (waarmerking), membuat fotokopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir), memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan, membuat akta risalah lelang, membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalah ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli yang menyebutkan tanggal dan nomor berita acara pembentulan dan salinan tersebut dikirim ke para pihak ( Pasal 51 UUJN).

Selain itu, notaris juga bertugas membuat akta pendirian dan/anggaran dasar badan-badan usaha, badan sosial (yayasan), koperasi dan mengurus pengesahannya, membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian misalnya sewa menyewa tanah, membuat akta fidusia, membuat dan mengesahkan (legalisasi) surat-surat di bawah tangan seperti surat kuasa, surat pernyataan dan mendaftar surat-surat di bawah tangan, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Notaris juga mempunyai tugas untuk membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris, dan juga untuk menerbitkan grosse, dan membuat salinannya. Dalam proses pembuatan minuta akta notaris juga harus mengetahui secara jelas dan pasti para pihak yang akan membuat minuta akta, dan minuta akta tersebut merupakan suatu alat bukti yang sempurna, mempunyai kepastian hukum dan akta yang mengikat.

Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Ingris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority diartikan sebagai suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.[7]

Menurut Philipus M.Hadjon (dikutip dalam buku Nur Basuku Winanmo), jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik. [8] Dengan demikian setiap wewenang ada batasnya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang notaris terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan pejabat yang bersangkutan.

Ateng Syafrudin berpendapat bahwa ada perbedaan pengertian kewenangan dengan wewenang. “Kewenangan merupakan suatu kekuasaan yang bersifat formal yang diberikan oleh perundang-undangan dan wewenang diartikan sebagai bagian tertentu dari kewenangan.” [9] Perbedaan pengertian terkait dengan kewenangan  dan  wewenang yaitu: Kewenangan merupakan suatu penguasaan terhadap suatu bidang pemerintahan, ataupun golongan orang-orang tertentu yang di dalamnya terdapat wewenang-wewenang, dan sedangkan wewenang di artikan sebagai kekuasaan yang diberikan pada orang atau golongan tertentu untuk dapat melakukan suatu tindakan publik.

Kewenangan juga memiliki arti hak dan kekuasaan yang memiliki arti melakukan sesuatu. Istilah kewenangan tidak dapat disamakan dengan istilah urusan karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan dan pengawasan), atas suatu objek tertentu yang ditangani oleh pemerintahan. [10]

Secara teoritik, kewenangan pemerintah bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara seperti yang disebutkan pada Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah (selanjutnya disebut UU AP),  yaitu:

1.      Atribusi

Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintah oleh UUD 1945 atau undang-undang. Badan dan/atau pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui atribusi, tanggung jawab kewenangan berada pada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan. Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasi, kecuali diatur dalam UUD 1945. Badan dan/atau Pejabat Pemerintah memperoleh wewenang melalu atribusi apabila.

a.       Diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang

b.      Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada, dan

c.       Atribusi diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintah.

2.      Delegasi

Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintah yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya perlimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi, tetapi beralih pada penerima delegasi.

3.      Mandat

Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintah yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintah yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil penerima mandat tetap berada pada pemberi mandat. Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menerima mandat harus menyebutkan atas nama badan dan/atau pejabat pemerintah yang memberikan mandat.

Kewenangan itu sendiri adalah setiap tindakan pemerintah disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang, kewenangan delegasi adalah kewenangan yang berasal dari adanya pelimpahan kewenangan secara atributif sedangkan mandat tidak terjadi suatu pelimpahan kewenangan.

Notaris sebagai pejabat umum memperoleh kewenangan secara atribusi karena kewenangan tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Notaris sebagai sebuah jabatan, dan jabatan apapun yang ada di negeri ini mempunyai kewenangan tersendiri. Setiap wewenang harus ada dasar hukumnya. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada, sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Oleh karena itu wewenang pejabat apapun harus jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pejabat atau jabatan tersebut.

Setiap perbuatan pemerintahan disyaratkan harus bersumber pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya suatu kewenangan yang sah, seorang pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat maupun badan. [11] Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika, seorang pejabat melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. [12]

Kewenangan notaris disebut sebagai pejabat umum karena notaris  diangkat dan diberhentikan oleh negara yang dalam hal ini diwakili oleh  pemerintah melalui menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan yaitu oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi  Manusia. Notaris menjalankan tugas negara dan membuat akta yang merupakan dokumen negara, sehingga tugas utama seorang notaris yaitu membuat akta-akta autentik guna melayanimasyarakat.[13]

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 UUJN, notaris dalam menjalankan jabatannnya harus berdasarkan wewenang yang telah ada pada jabatan notaris itu sendiri, dan kewenangan dari pada notaris tersebut sudah diatur dalam  Pasal 15 UUJN, sebagai berikut.

(1)         Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2)         Notaris berwenang pula:

a.       mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus

b.      membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus

c.       membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan

d.      melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya

e.       memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta

f.        membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau

g.      membuat akta risalah lelang.

(3)         Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Melalui pengertian dan kewenangan sebagaimana yang diuraikan di atas, terlihat bahwa tugas seorang notaris adalah menjadi pejabat umum, dan kewenangannya adalah membuat akta autentik. Akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berwenang untuk itu, di ditempat dimana akta dibuatnya, dan dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh undang-undang. Akta yang dibuat notaris tersebut hanya akan menjadi akta autentik, apabila notaris mempunyai wewenang yang meliputi empat (4) hal, sebagai berikut.[14]

a.       Notaris Harus Berwenang Sepanjang Menyangkut Akta yang Dibuat

Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa kewenangan notaris yaitu membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik.

b.      Notaris Harus Berwenang Sepanjang Mengenai Orang untuk Kepentingan Siapa Akta Dibuat

Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa, maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan.

c.       Notaris Harus Berwenang Sepanjang Mengenai Tempat, dimana Akta Dibuat

Bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya ia berwenang untuk membuat akta autentik. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota, Pasal 19 ayat (1) UUJN. Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harusberada di tempat kedudukannya, karena notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh provinsi.

d.      Notaris Harus Berwenang Sepanjang mengenai Waktu Pembuatan Akta Keadaan dimana notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat akta autentik, yaitu: Pertama, sebelum notaris mengangkat sumpah (Pasal 7 UUJN), notaris tidak berwenang membuat akta autentik sebelum mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang berwenang yang ditunjuk untuk itu berdasarkan UU). Kedua, selama notaris diberhentikan sementara (skorsing), maka notaris yang bersangkutan tidak berwenang membuat akta autentik sampai masa skorsingnya berakhir. Ketiga, selama notaris cuti (notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta autentik), dan keempat, berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf e tentang saksi akta dan Pasal 52 ayat (1) UUJN (saksi dalam pembuatan akta autentik minimal dua orang).

Notaris sebagai pejabat umum  yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat umum khusus dalam pembuatan akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum dibidang keperdataan saja dan juga yang berkaitan dengan minuta akta atau arsip/dokumen negara. Pembuatan akta autentik ada yang haruskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan bahwa:

"Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang".

 

Salah satu kewenangan lainnya bagi notaris adalah dalam hal melakukan perubahan minuta akta, dengan memberikan tanda di pinggir dan harus diparaf, sedangkan minuta akta merupakan akta asli yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan notaris, yang disimpan sebagai bagian dari protokol notaris. Pada hakikatnya kewenangan notaris selaku pejabat umum mempunyai peranan yang kuat terhadap negara dimana kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum public, [15] termasuk dalam hal perubahan minuta akta.

Kewenangan notaris dalam pembuatan minuta akta, ketika minuta akta sudah ditandatangani, para penghadap sudah pergi, dan salinan akta telah dikeluarkan, tetapi kemudian ditemukan kesalahan di dalam minuta akta tersebut. Namun, adanya kemungkinan kesalahan seperti itu rupanya telah diperkirakan oleh pembuat undang-undang, sehingga di dalam UUJN diatur kewenangan notaris untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, yaitu sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 UUJN, yang menyatakan:

(1)         Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani

(2)         Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan

(3)         Salinan akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak.

 

 

Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 51 UUJN itu berlaku pula untuk minuta akta yang telah dikeluarkan salinannya. Setelah Akta Berita Acara Pembetulan selesai dibuat, berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UUJN, notaris wajib memberikan catatan tentang adanya pembetulan tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta Berita Acara Pembetulan. Selanjutnya, notaris menyampaikan salinan Akta Berita Acara Pembetulan tersebut kepada para pihak.

Pada hakikatnya, kewenangan notaris selaku pejabat umum mempunyai peran yang kuat terhadap kewenangan yang memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum untuk melaksanakan tugas publik dalam hal memberikan pelayanan, termasuk dalam hal perubahan minuta akta yang dilakukan oleh seorang notaris dimana hal tersebut tentunya sangat penting perannya dalam hubungan hukum.

 

3.         Hak dan Kewajiban Notaris

Hak atau right berarti dasar untuk melakukan sesuatu tindakan secara hukum. [16] Menurut Hans Kelsen bahwa kata hak mempunyai banyak makna, ia digunakan baik dalam artian mengenai suatu hak seseorang untuk bertingkah laku dengan cara tertentu, dan dalam artian suatu hak yang mengharuskan orang lain memperlakukannya dengan cara tertentu. Mengatakan bahwa seseorang punya hak untuk berperilaku demikian, mungkin hanya berarti bahwa ia tidak mempunyai penggunaan hak untuk berperilaku sebaliknya, ia bebas. Kebebasan ini hanyalah sebuah ingkaran dari suatu penggunaan hak.[17]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ingkar berarti tidak menepati, tidak melaksanakan, tidak mengaku, dan tidak mau. Hak ingkar dari para notaris pada prinsipnya menyatakan bahwa hak ingkar notaris adalah suatu hak untuk tidak berbicara atau vercshoninngsrecht, sekalipun di muka pengadilan, jika tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 54 UUJN, artinya notaris tidak dibolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam aktanya, notaris tidak hanya berhak untuk tidak bicara akan tetapi mempunyai penggunaan hak untuk tidak bicara.

Pasal 4 ayat 2 UUJN mewajibkan notaris untuk tidak bicara, artinya notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan keterangan mengenai apa yang dimuat dalam akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan, akan tetapi berdasarkan Pasal 16 ayat 1 huruf f dan Pasal 54 UUJN, penggunaan hak untuk merahasiakan isi akta tersebut bersamaan dengan penggunaan hak untuk bisa memberikan kesaksian manakala ada undang-undangnya, dengan kata lain notaris ada penggunaan hak untuk bicara. Dengan demikian notaris harus bisa membatasi diri kapan harus bicara dan kapan tidak boleh bicara, notaris tidak bisa menolak manakala dijadikan saksi dengan persetujuan MPD, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 UUJN. Apabila peraturan yang bersangkutan secara tegas menentukan bahwa notaris wajib untuk memberikan kesaksian atau untuk memperlihatkan, maka khusus untuk keperluan itu ia dibebaskan dari sumpah dan rahasia jabatan.

Hak ingkar atau hak untuk dibebaskan menjadi saksi, ada pada beberapa jabatan yang oleh undang-undang diberikan. Hak ingkar adalah merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahuinya. Ada 3 (tiga) dasar untuk dapat menuntut penggunaan hak ingkar, yakni:

1)   Hubungan keluarga yang sangat dekat.

2)   Bahaya dikenakan hukuman pidana

3)   Kedudukan pekerjaan dan rahasia jabatan.

 

Hak lain yang dimiliki oleh notaris adalah hak untuk mengambil cuti. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 35 UUJN. Seorang notaris yang cuti dianggap meletakkan jabatan untuk sementara, konsekuensinya dari hal itu, dia tidak boleh membuat akta dalam waktu cuti tersebut dan apabil hal tersebut dilanggar akta yang dibuatnya menjadi akta di bawah tangan. Notaris juga berhak memungut honorarium kepada kliennya yang dibuatkan suatu akta atas perbuatan hukum yang dilakukan di hadapannya diatur dalam Pasal 36 UUJN.

Secara epistimologis, yang dimaksud kewajiban adalah sesuatu yang harus diamalkan, dilakukan, keharusan.[18] Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mematuhi segala kewajiban yang dimilikinya. Kewajiban notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh notaris. Jika kewajiban tersebut tidak dilakukan atau dilanggar, notaris akan dikenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya, yang menjadi kewajiban notaris adalah mengangkat sumpah terlebih dahulu sebelum menjalankan jabatannya dihadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk. Selain itu, juga mempunyai kewajiban memiliki tempat tinggal tetap yang sebenarnya dan tetap di tempat itu, mengadakan kantor dan menyimpan aktanya di tempat kedudukan yang ditunjuk baginya.

Kewajiban notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh notaris yang jika tidak dilakukan atau dilanggar, atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi terhadap notaris. Kewajiban notaris lainnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, yaitu seorang notaris itu harus bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.” Kewajiban notaris yang tercantum dalam Pasal 16 UUJN jika dilanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Hal tersebut juga dapat merugikan para pihak yang bersangkutan, sehingga pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Seorang notaris dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh koridor-koridor aturan. Pembatasan ini dilakukan agar seorang notaris tidak kebablasan dalam menjalankan praktiknya dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya. Tanpa ada pembatasan, seseorang cenderung akan bertindak sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah membatasi kerja seorang notaris. [19]

Pada Pasal 16 ayat (1) huruf (b) UUJN juga menjelaskan mengenai kewajiban notaris, nyatalah bahwa dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris. Adapun definisi dari minuta akta adalah asli akta notaris sedangkan protokol notaris sendiri diartikan sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris, hal mana protokol notaris terdiri atas minuta akta, buku daftar akta atau repertorium, buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan dihadapan notaris atau akta di bawah tangan yang didaftar, buku daftar nama penghadap, buku daftar protes, buku daftar wasiat, dan buku daftar lain yang harus disimpan oleh notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan minuta yang dibuat oleh notaris, maka notaris berkewajiban mengeluarkan:

1)      Grosse “akta yaitu salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala” akta ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

2)      Salinan “akta yaitu salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa” “diberikan sebagai salinanyang sama bunyinya”.

3)      Kutipan “akta yaitu kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagiandari akta dan pada bagian bawah kutipan akta” tercantum frasa”diberikan sebagai kutipan..”

 

Pasal 16 ayat 1 huruf f UUJN dijelaskan bahwa, dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Lebih lanjut dalam Pasal 54 UUJN dijelaskan bahwa, notaris hanya dapat memberikan, memperhatikan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara  keseluruhan. Sebelum minuta akta dilakukan penyimpanan oleh notaris, minuta tersebut  harus di jilid yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid  menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya  pada sampul setiap buku.Salah satu kewajiban notaris adalah membuat akta dalam bentuk minuta akta dan  menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris. Undang-undang tidak mengatur bagaimana cara penyimpanan minuta akta tersebut, tetapi hanya menyebutkan bahwa kewajiban menyimpan minuta akta dimaksudkan untuk menjaga keautentikan suatu akta dengan menyimpan akta  dalam bentuk aslinya.

Minuta-minuta, reportorium dan lain-lainnya itu harus disimpan dan harus diamankan terhadap kerusakan disebabkan oleh kebakaran dan pengaruh-pengaruh dari luar, seperti misalnya  kelembaban dan dari binatang-binatang yang dapat merusaknya dan juga terhadap  pencurian, walaupun UUJN sendiri tidak menyebutkan hal tersebut secara tegas dan terperinci. [20]

Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang, notaris masih memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan sumpah atau janji notaris yang berisikan bahwa notaris wajib merahasiakan isi akta dan ketentuan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum, notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan minuta akta, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa notaris tidak wajib untuk merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta, keterangan dan pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud, hal ini juga dikenal dengan kewajiban ingkar notaris.

 



[1] Salim HS, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Sinar Grafika, 2018, hlm. 14.

[2] Sjaifurrachman dan Habib Adji, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuat Akta, Surabaya: Mandar Maju, 2011, hlm. 62. 

[3] Habib Adjie, Op.Cit., hlm. 32. 

 [4] Supriadi, Op.Cit., hlm. 51.

[5] Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Jakarta: Dunia Cerdas, 2013, hlm. 78.

[6] Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm. 270.

[7] Nur Basuki Winanmo, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008, hlm. 65.

[8] Ibid, hlm. 66.

[9] Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV Tahun 2000, hlm. 22.

[10] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintah Daerah Kajian Politik Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 95.

[11] Ibid, hlm. 100.

[12] Habib Adjie, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Surabaya: PT Refika Aditama, 2007, hlm. 33.

[13] Budi Untung, 22 Karakter Pejabat Umum (Notaris dan PPAT) Kunci Sukses Melayani, Yogyakarta: Andi, 2015, hlm. 25.

[14]Budi Untung, Op.Cit., hlm. 40.

[15] Lukman Hakim, “Kewenangan Organ dalam Penyelesaian Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Vol. IV No 1, 2011, hlm. 20. 2011.

[16] I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 487.

[17] Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Bandung: Nusamedia., 2008, hlm. 330.

[18] Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Bahasa Indonesia, Edisi Lux, Cetakan Kedelapan. Semarang: Widya Karya, 2009, hlm. 161.

[19] Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op, Cit., hlm. 46.

[20] Ghansham Adnan, Op.Cit., hlm. 70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar