Tampilkan postingan dengan label Pengertian Alat Bukti Macam-Macam Alat Bukti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengertian Alat Bukti Macam-Macam Alat Bukti. Tampilkan semua postingan

ALAT BUKTI


1. Dasar hukum dan Pengertian Alat Bukti

    Dalam proses persidangan pembuktian dinilai sangat penting karena alat bukti menjadi dasar keputusan yang dibuat oleh hakim hakim. Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu:
    a. Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena 
        berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.
    b. Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian tetapi bukan 
        kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-
        tingkatan sebagai berikut:

1) Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan disebut 
    conviction intime.
2) Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut conviction 
    raisonee.
3) Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain berarti memberi     dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian     tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[1]

    Pada tahapan penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada tahap pembuktian juga, pihak tergugat dapat menggunakan haknya untuk menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat. Melalui pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti inilah, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.
    Hukum pembuktian (law of evidence) dalam beperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semakin rumit karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukupbersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang demikian pun tetap menghadapi kesulitan.
    Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 sampai Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162, Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 – Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 282 – Pasal 314.
    Alat bukti merupakan unsur penting di dalam pembuktian persidangan, karena hakim menggunakannya sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Alat bukti adalah alat atau upaya yang diajukan pihak beperkara yang digunakan hakim sebagai dasar dalam memutus perkara. Dipandang dari segi pihak yang beperkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang digunakan untuk meyakinkan hakim di muka sidang pengadilan. Sedangkan dilihat dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa digunakan hakim untuk memutus perkara.[2]
    Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana, Andi Hamzah yang memberikan batasan pengertian yang hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu sebagai berikut:
    “Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan.         Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk         
    dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang 
    pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan 
    petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.”[3]


    Pada acara perdata, Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa dalam pengambilan keputusan, Hakim harus tunduk dan berdasarkan alatalat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang saja yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg dan 1866 KUHPerdata. Di luar Pasal 164 HIR/284 RBg, terdapat alat bukti yang dapat dipergunakan untuk mengungkap kebenaran terjadinya suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaansetempat (descente) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg dan keterangan ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg.
    Alat bukti atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai evidence, adalah informasi yang digunakan untuk menetapkan kebenaran fakta-fakta hukum dalam suatu penyelidikan atau persidangan. Paton dalam bukunya yang berjudul A Textbook of Jurisprudence, seperti yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo menyebutkan, bahwa alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang bersifat oral, merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dalam persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary, meliputi alat bukti surat atau alat bukti tertulis. Alat bukti yang bersifat material, meliputi alat bukti berupa barang selain dokumen.[4]


2. Macam-Macam Alat Bukti

    Alat bukti dalam perkara perdata yang diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata, adalah sebagai berikut:[5]

a. Surat/alat bukti tulisan
    Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.[6] Menurut Sudikono Mertokusumo, alat bukti surat atau alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca, dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca, tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti surat atau alat bukti tulisan[7].
    Alat bukti surat dalam praktik lazim juga disebut dengan istilah “alat bukti tulisan” atau ada pula yang menyebut dengan akta. Alat bukti surat diatur dalam Pasal 138 dan 165-176 HIR, Pasal 285-305 RBg, Pasal 1867-1894 KUHPerdata, Pasal 138-147 Rv, serta Ordonansi 1867 Nomor 29 mengenai ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka. Pada praktiknya, alat bukti surat diklasifikasikan sebagai berikut:


1) Akta Otentik
    Mengenai Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Dibandingkan dengan pengertian yang terdapat dalam Pasal 286 RBg/165 HIR. Akta otentik yaitu,
“Suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut”.
    Pejabat publik yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat Akta otentik, antara lain notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan, dan juru sita. Di dalam melakukan pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan terikat pada syarat dan ketentuan undang-undang sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai keabsahan hasil pekerjaannya.[8]
    Akta otentik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu akta ambtelijk dan akta partai. Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat publik yang diberi wewenang untuk itu, dimana dia menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dilakukannya. Contoh: akta catatan sipil, akta protes pada wesel, akta sertifikat kelulusan jenjang pendidikan negeri. Akta partai adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat publik, yang menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dilakukannya dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan tanda tangan mereka. [9]

2) Akta Bawah Tangan

Pengertian akta bawah tangan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1874 KUHPerdata, Pasal 286 RBg. Menurut pasal tersebut, akta bawah tangan:
    a) Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan;
    b) Tidak dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), 
        tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak;
    c) Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan 
        pejabat, meliputi surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan 
        lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum.
    d) Secara khusus ada akta bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling 
        sedikit dua pihak.[10]

    Secara ringkas, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta bawah tangan atau dengan kata lain, segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, termasuk rumpun akta bawah tangan.

3) Akta Sepihak atau Pengakuan Sepihak

    Akta Pengakuan Sepihak diatur dalam Pasal 1878 KUHPerdata, Pasal 291 RBg yang menentukan “Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penandatangan sendiri, setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang, jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perkataan dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 1878 KUHPerdata, Akta Pengakuan Sepihak merupakan[11]:

a) Perikatan Utang Sepihak
Sering juga disebut pengakuan utang di bawah tangan untuk membedakannya dengan grosse akta pengakuan utang yang dibuat dalam bentuk Akta Notaris. Meskipun aktanya dibuat sepihak oleh debitur, Pasal 1878 KUHPerdata mengakuinya sebagai perikatan. Oleh karena itu, terhadapnya berlaku segala ketentuan umum perikatan, terutama yang berkenaan dengan pelaksanaan pemenuhan pembayaran utang yang disebut dalam akta.

b) Bentuk Aktanya Bawah Tangan
Mengenai bentuk aktanya adalah di bawah tangan. Jadi, Akta Pengakuan Sepihak termasuk rumpun Akta Bawah Tangan. Cuma sifatnya sepihak yakni pernyataan sepihak dari debitur tentang utangnya kepada kreditur. Bentuk Akta Pengakuan Sepihak sebagai Akta Bawah Tangan berbeda dengan grosse akta pengakuan utang (acknowledgement of indebtedness) yang mesti berbentuk Akta Notaris, yang diberi judul titel eksekutorial, berupa kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap bentuk ini dapat dilaksanakan eksekusi serta merta atau parate eksekusi berdasar Pasal 224 HIR, tanpa melalui proses peradilan biasa. Jika ingin Akta Pengakuan Sepihak yang disebut dalam pasal ini sama kualitasnya dengan grosse akta, cukup membuat bentuknya dengan Akta Notaris dengan jalan mencantumkan titel eksekutorial padanya.

c) Berisi Pengakuan Hutang
Isi Akta Pengakuan Sepihak, berupa pengakuan utang dari penanda tangan atau pengakuan untuk membayar sesuatu oleh penanda tangan kepada orang tertentu (kreditur). Itu sebabnya Akta Pengakuan Sepihak disebut juga pengakuan utang di bawah tangan atau surat perjanjian utang di bawah tangan secara sepihak yakni dari pihak debitur sebagai penanda tangan akta, dengan ketentuan:

(1) Pengakuan itu harus tegas tanpa syarat atau klausula;
(2) Jelas disebut jumlah dan waktu pelaksanaan pembayaran.

d) Objek Pengakuan Hutang

Berdasarkan Pasal 1878 KUHPerdata, objek pengakuan utang secara sepihak:
(1) Dapat bentuk utang tunai, atau
(2) Barang yang dapat dinilai dengan harga tertentu atau yang dapat ditentukan harganya.

e) Kuitansi digolongkan pada Akta

    Pengakuan Sepihak Dalam praktik, kuitansi (kwitantie) pada hakikat yuridisnya merupakan bukti pembayaran atau bukti penerimaan uang maupun tanda pelunasan dan dikategorikan juga sebagai akta pengakuan utang, sehingga harus mendapat perlakuan yang sama. Misalnya, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung No. 4669 K/Pdt/1985 dikatakan, kuitansi dianggap sebagai akta bawah tangan yang bersifat sepihak yang tunduk kepada ketentuan Pasal 129 ayat (1) RBg (Pasal 1878 KUHPerdata).

f) Dapat diterapkan sebagai Perjanjian Tambahan

    Akta Pengakuan Sepihak dapat juga diterapkan sebagai tambahan atas perjanjian pokok. Misalnya, pada perjanjian pokok tidak diatur mengenai denda. Lantas pada saat perjanjian berlangsung, debitur melakukan pelanggaran yang dapat dihukum dengan denda. Maka untuk pemenuhan pembayaran denda tersebut, dapat dituangkan dalam Akta Pengakuan Sepihak sebagai perjanjian tambahan atas perjanjian pokok, yang berisi pernyataan sepihak dari debitur akan membayar denda sebesar jumlah tertentu pada waktu tertentu.

4) Surat Biasa

    Pada prinsipnya surat biasa ini tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Akan tetapi, jika kemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan, hal ini bersifat insidental (kebetulan) saja. Contohnya surat cinta, surat korenpendensi, buku catatan penggunaan uang dan sebagainya.

b. Saksi

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152 dan Pasal 162-172 HIR, Pasal 165-179 dan Pasal 306-309 RBg, serta Pasal 1895 dan Pasal 1902-1908 KUHPerdata. Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataannya bisa terjadi:

1) Sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan; atau
2) Karena alat bukti tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.

    Beberapa prinsip tentang pembuktian dipersidangan dengan menggunakan alat bukti saksi yaitu sebagai berikut:

1) Satu saksi bukan saksi
Pembuktian dengan saksi hendaknya menggunakan lebih dari satu saksi karena keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercaya. Dalam hukum dikenal dengan adagium unus testis nullus testis, artinya satu saksi bukan dianggap saksi. Suatu peristiwa dianggap tidak terbukti jika hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi. Agar peristiwa terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, pengakuan, dan sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian, dua atau beberapa orang saksi belum meyakinkan suatu peristiwa apabila Majelis Hakim tidak mempercayai saksi-saksi, misalnya karena keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain saling bertentangan.

2) Saksi Tidak Mampu Mutlak atau Relatif
Seorang saksi dikatakan tidak mampu mutlak karena saksi tersebut mempunyai hubungan yang terlalu dekat dengan salah satu pihak yang beperkara. Hubungan tersebut terjadi karena adanya hubungan yang sedarah dan perkawinan. Menurut Pasal 145 ayat (1) HIR atau Pasal 172 ayat (1) RBg, orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi ialah:

a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda (karena perkawinan) menurut garis keturunan lurus dari salah satu pihak, meliputi keturunan sedarah yang sah dan tidak sah. Keturunan lurus meliputi lurus ke atas, yaitu bapak/bapak mertua, nenek/nenek mertua, dan seterusnya. Lurus ke bawah yaitu anak/anak menantu, cucu/cucu menantu, dan seterusnya. Anak tiri dan bapak/ibu tiri termasuk juga keluarga semenda menurut garis keturunan lurus

b) Istri atau suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai.
Mereka tidak boleh didengar sebagai saksi. Perceraian itu sangat berarti terhadap keluarga semenda karena menurut hukum adat, dengan perceraian itu, kekeluargaan semenda terputus sehingga bekas keluarga semenda dapat didengar sebagai saksi

c) Hak Mengundurkan Diri (Hak Ingkar)
Pasal 146 HIR atau Pasal 174 RBg mengatur tentang orang-orang tertentu yang atas permintaannya dapat dibebaskan dari saksi, yaitu:

(1) Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuansalah satu pihak.
(2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan suami atau istri salah satu pihak.
(3) Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau pekerjaan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan atau pekerjaan yang sah itu, misalnya: notaris, dokter, advokat dan polis

d) Keterangan Saksi dari Pihak Ketiga

    Keterangan saksi dari pihak ketiga sering disebut sebagai testimonium de auditu. Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa testimonium de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak mengenai peristiwa yang dialami sendiri. Namun, sekarang pendapat tersebut sudah bergeser, yaitu memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk menilainya.

c. Persangkaan (Vermoedens)

    Persangkaan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 173 HIR/Pasal 310 RBg dan Pasal 1915 – 1922 KUHPerdata. Dalam ketentuan HIR/RBg tidak ditemukan pengertian dari persangkaan. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 1915 KUHPerdata pengertian persangkaan dimaksudkan kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
    Di dalam hukum acara perdata persangkaan-persangkaan atau vermoedens adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti. [12]

Pada praktik peradilan, ada dua macam persangkaan yaitu sebagai berikut:

1) Persangkaan Menurut Hukum (Rechtsvermoeden, legal conjecture, presumtio juris)
Yaitu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa peristiwa tertentu. Misalnya, perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang karena perbuatan tersebut menyalahi ketentuan perundang-undangan.

2) Persangkaan Menurut Kenyataan (Feitelijk vermoeden, factual conjecture, presumtio factie)
Yaitu persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta atau presumtiones factie yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan, alat bukti persangkaan hanya digunakan apabila didalam perkara perdata sangat sulit untuk ditemukan alat bukti saksi yang melihat, mendengar atau merasakan langsung peristiwa yang terjadi.

d. Pengakuan (Bekentenis Confession)

    Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 RBg, Pasal 1923-1928 KUHPerdata serta yurisprudensi. Pada dasarnya pengakuan merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan, baik sebagian maupun seluruhnya. Konkritnya, pengakuan merupakan keterangan sepihak dan untuk itu tidaklah diperlukan persetujuan dari pihak lainnya. Hal ini berarti jika tergugat telah mengakui tuntutan penggugat, pengakuan itu membebaskan penggugat untuk membuktikan lebih lanjut dan majelis hakim harus mengabulkan tuntutan penggugat. Dengan demikian, perkara dianggap selesai. Akan tetapi Pasal 1926 KUHPerdata membolehkan menarik kembali pengakuan yang telah diberikan di persidangan karena kekhilafan. Kekhilafan yang menyangkut soal hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk menarik kembali pengakuan. Dalam praktik hukum, dapat tidaknya pengakuan itu ditarik kembali, terserah pada penilaian majelis hakim yang menyelesaikan perkara

Menurut pandangan doktrina, pada asasnya pengakuan (Pasal 1923 dan 1925 KUHPerdata) dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:

1) Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)
Pengakuan yang diucapkan di muka sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dikuasakan untuk itu. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 174 – 176 HIR atau Pasal 311 – 313 RBg.

2) Pengakuan di luar sidang
Pengakuandi luar sidang adalah pengakuan atau pernyataan “pembenaran” tentang dalil gugatan atau bantahan maupun hak atau fakta, namun pernyataan itu disampaikan atau diucapkan di luar sidang pengadilan. Hal ini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1927 KUHPerdata, kebalikan dari Pasal 174 HIR

e. Sumpah

    Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155-158 dan 177 HIR, Pasal 182-185 dan 314 RBg, serta Pasal 1829-1945 KUHPerdata, akan tetapi dari ketentuan tersebut tidak satupun pasal yang merumuskan pengertian sumpah. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh Poerwadarminta, dirumuskan “sumpah” sebagai pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu benar. Berdasarkan ketentuan tersebut alat bukti sumpah diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Sumpah pemutus, yaitu sumpah yang sifatnya untuk memutus perkara yang dibebankan oleh hakim kepada salah satu pihak atas dasar permintaan lawannya karena tidak adanya alat bukti yang dimilikinya (Pasal 1930 – 1939 KUHPerdata).
2) Sumpah pelengkap, yaitu apabila di dalam perkara yang diajukan hanya ada sedikit alat bukti sehingga diperlukan adanya sumpah yang akan melengkapi alat bukti yang kurang tersebut. Pasal 1940 KUHPerdata, menyebutkan “bahwa hakim dapat, karena jabatannya memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang beperkara untuk menggantungkan pemutusan perkara pada penyumpahan itu atau untuk menetapkan jumlah yang akan dikabulkan”
3) Sumpah penaksir, yaitu sumpah untuk menentukan besarnya uang pengganti kerugian. Pembebanan sumpah penaksir dalam praktiknya kepada penggugat dilakukan secara selektif, artinya apabila sudah tidak ada cara lain selain dengan menggunakan sumpah penaksir, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1942 KUHPerdata bahwa sumpah untuk menetapkan harga barang yang dituntut tak dapat, oleh hakim diperintahkan kepada si penggugat selain apabila tidak ada jalan lain lagi untuk menetapkan harga itu. Sehingga dalam praktik pengadilan, penjatuhan sumpah penaksir harus dijatuhkan melalui putusan sela yang amarnya adalah “sebelum memutus pokok perkara, membebankan kepada penggugat suatu sumpah penaksir 62 seperti tersebut di atas yang harus diucapkan oleh penggugat di sidang dengan dihadiri oleh tergugat dan menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir”.

Sedangkan alat bukti yang terdapat di dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg, adalah sebagai berikut:

a. Bukti dengan tulisan;
b. Bukti dengan saksi;
c. Bukti dengan persangkaan;
d. Bukti dengan sumpah.

3. Kekuatan Alat Pembuktian

    Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat dibedakan antara yang berbentuk akta dengan bukan akta. Surat yang berbentuk akta juga dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian suatu akta dapat dibedakan menjadi: [13]

a. Kekuatan pembuktian luar
Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta otentik harus dianggap benar sebagai akta autentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian formil
Berdasarkan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkandan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta: mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim

c. Kekuatan pembuktian materil
Mengenai kekuatan pembuktian materil akta otentik menyangkut permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta autentik.




[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam, Yogyakarta: Liberty, 2002, hlm. 127.
[2]Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 25.
[3]Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 99
[4]Sudikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 120
[5] Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Cetakan 1, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011. hlm. 133.
[6]Octavianus M. Momuat, Alat Bukti Tulisan Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Di Pengadilan. Jurnal Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014.hlm. 138.
[7] Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 141.
[8]Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 131.
[9] Ibid. hlm. 132
[10] M.Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan , Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 589-590
[11]M. Yahya Harahap, Op.cit. hlm. 608-609.
[12]Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012. hlm. 81.
[13] M. Yahya Harahap, Op.cit. hlm. 152