BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian yang sekarang
banyak terjadi antar negara ialah masalah penyeludupan hukum. Lembaga maupun
individu mempunyai peran yang sangat dominan dimana masalah equal di muka hukum
yang sering di abaikan. Pada saat sekarang ini berbagai kasus terjadi seperti
perkawinan antar negara dengan keyakinan yang berbeda, masalah pembagian warisan
yang dengan menggunakan hukum yang berbeda. Inilah sebuah konsekwensi dari
sebuah globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan
merupakan sifat dasar umat manusia. Masalah-masalah keperdataan diatas
diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dan
berpedoman pada hukum keperdataan.
Pada dasar penyeludupan
hukum berasal dari kata seludup, dalam kamus besar bahasa Indonesia yang di
terbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, balai pustaka, 1989, kata
seludup diartikan penyelundup, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi atau
secara gelap (tidak sah). Sedangkan penyelundupan di artikan pemasuk barang
secara gelap untuk menghindari bea masuk atau karena penyenludupan
barang-barang terlarang. Penyelundupan hukum (evasion of law) adalah suatu
perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing dan diakui sah di negara asing
itu akan dapat dibatalakan oleh forum atau tidak diakui oleh forum bila perbuatan itu dilaksanakan
di negara asing yang bersangkutan dengan tujuan untuk menghindari diri dari aturan-aturan
lex fori yang akan melarang perbuatan itu dilaksanakan di wilayah forum.
Fungsinya adalah
untuk melindungi sistem hukum yang seharusnya berlaku. Ketertiban umum sangat
sukar untuk dirumuskan, namun yang dimaksud ketertiban umum ini adalah
pembatasan berlakunya suatu kaedah asing dalam suatu negara karena bertentangan
dengan kepentingan umum atau ketertiban hukum. Faktor-faktor yang membatasi:
Waktu, tempat, falsafah kenegaraan, sistem perekonomian, pola kebudayaan yang
dianut, masyarakat yang bersangkutan. Sehingga hukum asing yang bertentangan
dengan ketertiban umum tersebut tidak dipergunakan meskipun sebenarnya menurut
peraturan HPI lex fori, kaedah hukum asing seharusnya berlaku.
Dalam situasi
seperti di atas maka lembaga ketertiban umum dapat menjadi dasar bagi
pembenaran bagi hakim untuk menyimpang dari kaidah-kaidah HPI yang seharusnya
berlaku, dan menunjuk kearah berlakunya suatu sistem hukum asing.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Penyeludupan Hukum
Menurut
Prof.G.G.Siong penyeludupan hukum adalah mengingkari hukum dengan tidak sewajarnya,
sehingga dapat dikatakan pengingkaran hukum. Penyeludupan hukum terjadi
bilamana ada seseorang atau pihak-pihak yang mempergunakan berlakunya hukum
asing dengan cara-cara yang tidak benar, dengan maksud untuk menghindari
berlakunya hukum nasional. Akibat penyeludupan hukum asing, adalah batal demi
hukum.
2.2
Tujuan
Penyeludupan Hukum
Penyelundupan
hukum adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk menghindarkan (menghindari)
berlakunyahukum nasional sehingga yang bersangkutan memperoleh suatu keuntungan
– keuntungan tertentu sesuai dengan keinginannya, sebab baginya berlaku hukum
asing. Akan tetapi di pihak yang lain,khususnya apabila dilihat dari kacamata
hakim yangmenangani atau menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan lembaga
atau perbuatan hukumini,penyelundupan hukum justru mengakibatkan berlakunya
hokum nasional dan menyatakantidak berlakunya hukum asing yang diselundupkan
itu.
Penyelundupan
hukum terjadi jika ada seseorang atau suatu pihak yang untuk mendapatkan
berlakunya hukum asing, telah melakukan suatu cara yang tidak dibenarkan dengan
maksud untuk menghindarkan pemakaian hukum nasional, dengan tujuan untuk
menghindarkan suatu syarat atau suatu akibat hukum tertentu yang tidak
dikehendaki, ataupun untuk mewujudkan atau menciptakan suatu akibat hukum yang
dikehendaki, dengan kata lain seseorang melakukan penyelundupan hukum dengan tujuan
agar diberlakukan hukum yang lain dari hukum yang seharusnya digunakan.
Penyelundupan
hukum ini tidak terlepas dari perspektif Hukum Perdata Internasional (HPI),
Dalam Hukum Perdata Internasional yang merupakan suatu ajaran hukum tentang
perselisihan/ hukum pertikaian, dalam hal ini karena bertugas menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum yang menyangkut “konflik” antara dua atau lebih
sistem hukum.
2.3
Akibat
Penyeludupan Hukum
Mengenai akibat
dari penyeludupan hukum tidak ada kata kata sepakat. Ada yang berpendapat :
· Tiap
penyeludupan hukum mengakibatbatkan batalnya perbuatan yang bersangkutan.
· Perbuatan
penyelundupan Hukum tetap sah, sebab orang yang melakukan yang melakukan
penyelundupan Hukum bukan melakukan suatu al yang tidak pantas.
2.4
Praktek
penyeludupan hukum di Indonesia
Seringkali
dalam praktek soal penyeludupan hukum ini di lukiskan dan dengan memberikan
contoh contoh mengenai perkawinan. Misalnya terjadi para pihak mepergunakan
berbagai cara penyeludupan hukum untuk dapat melangsungkan perkawinana. Kalau
tidak memakai cara cara khusus ini mereka tidak akan mungkin melakukan
perkawinan menurut hukum nasional mereka. Maka mereka menggunakan berbagai
“tipu muslihat” untuk mengelakkan hukum nasional sendiri ini.
Contoh Kasus:
“Kasus
Eddy Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan campuran
dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya Maudy
Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum. Definisi
anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.” Saat ini Eddy masih anak -anak karena usianya
masih 3 tahun, dapat kita analisa dalam hukum perdata, bahwa manusia memiliki
status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan.Pasal 2 KUHP memberi
pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadisubjek hukum
apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan
hidup.Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban
dalam lalulintas hukum. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan
tidak cakap adalahmereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang
dibawah pengampuan.Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek
hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.Seseorang yang tidak cakap
karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atauwalinya dalam melakukan
perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan
bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada
dua yurisdiksi hukum yang berbeda pembahasan Menurut Teori HukumPerdata
Internasional Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan
status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu
perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang
tuanya sah sehingga anak memiliki hubunganhukum dengan ayahnya, atau perkawinan
tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagaianak luar nikah yang hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan
termasuk status personal.Negara-negara common law berpegang pada prinsip
domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas(ius
sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai
kepalakeluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal
ini adalah demikesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
demi stabilitas dankehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalahyang terbanyak dipergunakan di negara-negara
lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia,Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis. Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.SudargoGautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukumdalam keluarga,
bahwa semua anak – anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaantertentu
orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang
sama.Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun
1958.Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan
yang baik yaitukesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda
dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit
bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebutmasih dibawah umur. Dalam
kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan
ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun1958, seorang
perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisakehilangan
kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan
keteranganuntuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan
tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin
memperoleh kewarganegaraan Indonesiamaka harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapatijin tinggal di Indonesia
bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkanIndonesia karena
berbagai factor, antara lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan
pendidikan,dll maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah. Lantas, bagaimana
status hukum seorang anak dalam perkawinan campuran? Di tinjau dari UU kewarganegaraan
yang baru nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan bahwasanya anak yang
lahir dari perkawinan campuran memiliki dwi kewarganegaraan. Anak tersebut
diberikankebebasan untuk memilih warga Negara mana yang akan di anut nya,hak
memilih tersebutdiberikan setelah sang anak berusia genap 18 tahun. Namun,dalam
perjalanannya,apabila sanganak memilih bukan menjadi warga Negara Indonesia
maka hapuslah segala status hukum sanganak di Indonesia karena Indonesia
sebagai penganut system hukum civil law yangmengedepankan asas nasionalitas
maka hukum Indonesia berlaku untuk warga Negara Indonesia.Kemudian daripada
itu,bagaimana kalau berkaitan dengan hak waris si anak,maka tentunya kitalihat
lagi bahwa ketika anak tersebut memilih status kewarganegaraan asing dari
ayah/ibunyatindakan renvoi atau pengembalian hukum perlu dilakukan,dikarenakan
tentang permasalahanrenvoi dibahas dalam makalah kelompok yang lain maka lebih
baik kelompok yang membahas renvoi lah yang menjelaskan
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari makalah ini bahwa penyelundupan hukum yang banyak dilakukan
oleh masyarakat tidak dapat dibenarkan oleh sistem hukum Indonesia, karena
sudah menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum Indonesia. Akan tetapi, penegakan
hukum dari birokrasi di Indonesia kurang jeli melihat kasus ini, misalnya saja
dalam perkawinan beda agama ataupun perkawinan campuran, panitia pencatatan
sipil Indonesia masih saja mengesahkan akta perkawinan beda agama ataupun
campuran yang dilakukan dari luar negri tersebut walaupun tanpa mengeluarkan
akta nikah yang sah menurut hukum Indonesia. Apabila hal ini terus menerus
dilakukan, maka masyarakat Indonesia akan terus berusaha untuk melakukan
penyelundupan hukum tersebut karena tidak adanya aturan yang jelas ataupun
ketegasan dari para dinas terkait.
3.2 Saran
Adapun saran
yang dapat kami rekomendasikan adalah hendaknya dibuat suatu aturan hukum yang
jelas guna membatasi dan mengawasi tindak tanduk penyelundupan hukum tersebut
agar terciptanya suatu sistem hukum yang baik. Serta, dilakukannya penyukuhan
kepada seluruh elemen baik dinas terkait maupun masyarakat agar tidak melakukan
suatu perbuatan yang mana perbuatan hukum tersebut belum jelas pengaturan nya.
Kalaupun ingin melakukan perbuatan hukum tersebut baiknya perbuatan itu tidak
dilakukan atau di bawa kedalam sistim hukum Indonesia.
MANTUL
BalasHapus