Penyeludupan Hukum



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Kejadian yang sekarang banyak terjadi antar negara ialah masalah penyeludupan hukum. Lembaga maupun individu mempunyai peran yang sangat dominan dimana masalah equal di muka hukum yang sering di abaikan. Pada saat sekarang ini berbagai kasus terjadi seperti perkawinan antar negara dengan keyakinan yang berbeda, masalah pembagian warisan yang dengan menggunakan hukum yang berbeda. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia. Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dan berpedoman pada hukum keperdataan.
Pada dasar penyeludupan hukum berasal dari kata seludup, dalam kamus besar bahasa Indonesia yang di terbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, balai pustaka, 1989, kata seludup diartikan penyelundup, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi atau secara gelap (tidak sah). Sedangkan penyelundupan di artikan pemasuk barang secara gelap untuk menghindari bea masuk atau karena penyenludupan barang-barang terlarang. Penyelundupan hukum (evasion of law) adalah suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing dan diakui sah di negara asing itu akan dapat dibatalakan oleh forum atau tidak    diakui oleh forum bila perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan dengan tujuan untuk menghindari diri dari aturan-aturan lex fori yang akan melarang perbuatan itu dilaksanakan di wilayah forum.
Fungsinya adalah untuk melindungi sistem hukum yang seharusnya berlaku. Ketertiban umum sangat sukar untuk dirumuskan, namun yang dimaksud ketertiban umum ini adalah pembatasan berlakunya suatu kaedah asing dalam suatu negara karena bertentangan dengan kepentingan umum atau ketertiban hukum. Faktor-faktor yang membatasi: Waktu, tempat, falsafah kenegaraan, sistem perekonomian, pola kebudayaan yang dianut, masyarakat yang bersangkutan. Sehingga hukum asing yang bertentangan dengan ketertiban umum tersebut tidak dipergunakan meskipun sebenarnya menurut peraturan HPI lex fori, kaedah hukum asing seharusnya berlaku.
Dalam situasi seperti di atas maka lembaga ketertiban umum dapat menjadi dasar bagi pembenaran bagi hakim untuk menyimpang dari kaidah-kaidah HPI yang seharusnya berlaku, dan menunjuk kearah berlakunya suatu sistem hukum asing.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Penyeludupan Hukum
Menurut Prof.G.G.Siong penyeludupan hukum adalah mengingkari hukum dengan tidak sewajarnya, sehingga dapat dikatakan pengingkaran hukum. Penyeludupan hukum terjadi bilamana ada seseorang atau pihak-pihak yang mempergunakan berlakunya hukum asing dengan cara-cara yang tidak benar, dengan maksud untuk menghindari berlakunya hukum nasional. Akibat penyeludupan hukum asing, adalah batal demi hukum.

2.2    Tujuan Penyeludupan Hukum
Penyelundupan hukum adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk menghindarkan (menghindari) berlakunyahukum nasional sehingga yang bersangkutan memperoleh suatu keuntungan – keuntungan tertentu sesuai dengan keinginannya, sebab baginya berlaku hukum asing. Akan tetapi di pihak yang lain,khususnya apabila dilihat dari kacamata hakim yangmenangani atau menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan lembaga atau perbuatan hukumini,penyelundupan hukum justru mengakibatkan berlakunya hokum nasional dan menyatakantidak berlakunya hukum asing yang diselundupkan itu.
Penyelundupan hukum terjadi jika ada seseorang atau suatu pihak yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing, telah melakukan suatu cara yang tidak dibenarkan dengan maksud untuk menghindarkan pemakaian hukum nasional, dengan tujuan untuk menghindarkan suatu syarat atau suatu akibat hukum tertentu yang tidak dikehendaki, ataupun untuk mewujudkan atau menciptakan suatu akibat hukum yang dikehendaki, dengan kata lain seseorang melakukan penyelundupan hukum dengan tujuan agar diberlakukan hukum yang lain dari hukum yang seharusnya digunakan.
Penyelundupan hukum ini tidak terlepas dari perspektif Hukum Perdata Internasional (HPI), Dalam Hukum Perdata Internasional yang merupakan suatu ajaran hukum tentang perselisihan/ hukum pertikaian, dalam hal ini karena bertugas menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang menyangkut “konflik” antara dua atau lebih sistem hukum.


2.3    Akibat Penyeludupan Hukum
Mengenai akibat dari penyeludupan hukum tidak ada kata kata sepakat. Ada yang berpendapat :
·      Tiap penyeludupan hukum mengakibatbatkan batalnya perbuatan yang bersangkutan.
·      Perbuatan penyelundupan Hukum tetap sah, sebab orang yang melakukan yang melakukan penyelundupan Hukum bukan melakukan suatu al yang tidak pantas. 

2.4    Praktek penyeludupan hukum di Indonesia
Seringkali dalam praktek soal penyeludupan hukum ini di lukiskan dan dengan memberikan contoh contoh mengenai perkawinan. Misalnya terjadi para pihak mepergunakan berbagai cara penyeludupan hukum untuk dapat melangsungkan perkawinana. Kalau tidak memakai cara cara khusus ini mereka tidak akan mungkin melakukan perkawinan menurut hukum nasional mereka. Maka mereka menggunakan berbagai “tipu muslihat” untuk mengelakkan hukum nasional sendiri ini.
Contoh Kasus:
“Kasus Eddy Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan campuran dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya Maudy Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Saat ini Eddy masih anak -anak karena usianya masih 3 tahun, dapat kita analisa dalam hukum perdata, bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan.Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadisubjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalulintas hukum. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalahmereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atauwalinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda pembahasan Menurut Teori HukumPerdata Internasional Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubunganhukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagaianak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas(ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepalakeluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demikesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dankehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalahyang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia,Swiss dan kelompok negara-negara sosialis. Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.SudargoGautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukumdalam keluarga, bahwa semua anak – anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaantertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitukesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebutmasih dibawah umur. Dalam kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisakehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keteranganuntuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesiamaka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapatijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkanIndonesia karena berbagai factor, antara lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah. Lantas, bagaimana status hukum seorang anak dalam perkawinan campuran? Di tinjau dari UU kewarganegaraan yang baru nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan bahwasanya anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki dwi kewarganegaraan. Anak tersebut diberikankebebasan untuk memilih warga Negara mana yang akan di anut nya,hak memilih tersebutdiberikan setelah sang anak berusia genap 18 tahun. Namun,dalam perjalanannya,apabila sanganak memilih bukan menjadi warga Negara Indonesia maka hapuslah segala status hukum sanganak di Indonesia karena Indonesia sebagai penganut system hukum civil law yangmengedepankan asas nasionalitas maka hukum Indonesia berlaku untuk warga Negara Indonesia.Kemudian daripada itu,bagaimana kalau berkaitan dengan hak waris si anak,maka tentunya kitalihat lagi bahwa ketika anak tersebut memilih status kewarganegaraan asing dari ayah/ibunyatindakan renvoi atau pengembalian hukum perlu dilakukan,dikarenakan tentang permasalahanrenvoi dibahas dalam makalah kelompok yang lain maka lebih baik kelompok yang membahas renvoi lah yang menjelaskan





BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini bahwa penyelundupan hukum yang banyak dilakukan oleh masyarakat tidak dapat dibenarkan oleh sistem hukum Indonesia, karena sudah menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum Indonesia. Akan tetapi, penegakan hukum dari birokrasi di Indonesia kurang jeli melihat kasus ini, misalnya saja dalam perkawinan beda agama ataupun perkawinan campuran, panitia pencatatan sipil Indonesia masih saja mengesahkan akta perkawinan beda agama ataupun campuran yang dilakukan dari luar negri tersebut walaupun tanpa mengeluarkan akta nikah yang sah menurut hukum Indonesia. Apabila hal ini terus menerus dilakukan, maka masyarakat Indonesia akan terus berusaha untuk melakukan penyelundupan hukum tersebut karena tidak adanya aturan yang jelas ataupun ketegasan dari para dinas terkait.

3.2  Saran
Adapun saran yang dapat kami rekomendasikan adalah hendaknya dibuat suatu aturan hukum yang jelas guna membatasi dan mengawasi tindak tanduk penyelundupan hukum tersebut agar terciptanya suatu sistem hukum yang baik. Serta, dilakukannya penyukuhan kepada seluruh elemen baik dinas terkait maupun masyarakat agar tidak melakukan suatu perbuatan yang mana perbuatan hukum tersebut belum jelas pengaturan nya. Kalaupun ingin melakukan perbuatan hukum tersebut baiknya perbuatan itu tidak dilakukan atau di bawa kedalam sistim hukum Indonesia.

Klausula Baku


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.

Menurut sejarah, Perjanjian Baku sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani kuno (423-347 SM), Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 telah menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi ”standardisasi” dari produksi ternyata membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian[1]

Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika serikat berbentuk perjanjian baku begitu juga di Indonesia perjanjian baku bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversional misalnya, di perbolekan membeli satuan rumah susun secara inden dalam bentuk perjanjian standar[2]

Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis semakin meningkat termasuk di dalam maupun di luar negeri. Dengan perkembangan demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri untuk mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik. Di Indonesia sendiri, dengan berkembangnya dunia bisnis berdampak pula pada peningkatan ekonomi dan stabilitas negara sehingga kelak dapat menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Peningkatan usaha saat ini menimbulkan akibat meningkatnya perjanjian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan terlebih dahulu bahkan sebelum perjanjian disepakati oleh pengusaha. Untuk mengatur syarat-syarat tersebut, pihak pengusahalah yang secara sepihak berperan aktif. Hal ini karena pengusaha berada pada posisi lebih superior daripada konsumen ataupun perjanjian baku ini sering digunakan antara golongan ekonomi kuat dengan ekonomi lemah.

Adanya syarat-syarat (klausula) sepihak tersebut tentunya menguntungkan pengusaha ataupun pihak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pihak lain dalam perjanjian. Akan tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian baku diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin.

Dalam hubungan hukum sesama pengusaha, perjanjian baku hampir tidak menimbulkan masalah apapun karena mereka berpegang pada prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan sistem bersaing secara sehat dalam melayani konsumen. Namun, yang sering menjadi masalah dengan adanya perjanjian standar ini yaitu kemampuan konsumen untuk memenuhi syarat-syarat yang dibuat oleh pengusaha tidak selalu sama. Misalnya, banyak tempat jual beli barang kredit menetapkan harga cicilan per bulan dengan bunga yang cukup tinggi sehingga memberatkan konsumen dalam melaksanakan kewajibannya. Meskipun demikian, bentuk perjanjian ini tetap hadir di tengah-tengah masyarakat dan tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Fenomena ini didukung dengan benyaknya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dan bergesernya pola hidup masyarakat dari barang yang dulunya sekunder sekarang menjadi primer sehingga mau tidak mau harus dipenuhi.



B.Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari klasula baku?

2.      Apa ciri-ciri dari klausula baku?

3.      Apa hubungan klausula eksonerasi dengan perjanjian klausula baku?













BAB II

PEMBAHASAN



A.Pengertian Klausula Baku

Teori due care tentang kewajiban perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa pembeli dan konsumen tidak saling sejajar, dan bahwa kepentingan konsumen sangat rentan terhadap tujuan perusahaan yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki konsumen. Karena produsen berada pada posisi yang lebih menguntungkan, maka mereka berkewajiban untuk menjamin kepentingan konsumen agar tidak dirugikan.[3]

Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi efesien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan.Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.Hondius merumuskan perjanjian baku sebgai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang sifatnya tertentu. 
Undang-Undang Perlindungan Konsumen N0 8 tahun 1999 pada pasal 1 angka 10  mendefinisikan, klausula baku adalah setiap atauran atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.


B.Ciri-Ciri Klausula Baku [4]

Secara sederhana, klausula baku mempunyi ciri berikut.

1. Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisinya relatif lebih kuat dibandingkan konsumen;

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi klausula tersebut;

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal; dan

4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong kebutuhan.



Dalam UUPK ini diatur mengenai hal-hal apa saja yang dilarang bagi seorang pelaku usaha. Dalam pasal 18 UUPK disebutkan bahwa :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

  1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
  3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
  4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
  7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
  8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain hal tersebut pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Hal seperti ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha di bidang telekomunikasi, dimana sering kali terdapat tanda bintang dibawah dengan tulisan yang kecil sekali yang menyatakan “syarat dan ketentuan berlaku”. Sebetulnya yang dilarang oleh UUPK ini bukanlah mengenai ada atau tidaknya tanda “syarat dan ketentuan berlaku”, namun yang dilarang adalah keadaan dimana akibat tulisan yang kecil tersebut membuat konsumen menjadi tidak ada  ketentuan seperti itu. Karena itu, jika tulisan seperti itu masih dapat dilihat dengan jelas oleh konsumen, hal tersebut tidaklah melanggar ketentuan dalam UUPK ini. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai Klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.


Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku, yaitu: “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”. Dengan demikian berlakunya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.

Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil.

Lalu, diletakkan secara samar atau letaknya di tempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan pembaca dokumen perjanjian. Sampai saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya. Keadaan ini bakal membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.

Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.



Apabila didalam praktek bisnis ada pelaku yang menggunakan klausula baku yang masuk kedalam kategori terlarang sebagaimna hal itu telah ditetapkan oleh pasal 18 ayat 1 UUPK maka tindakan pelaku bisnis tersebut dapat masuk kategori perbuatan melanggar hukum.perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 bw tersebut seseorang hanya bertanggung gugat atas kerugian orang jika:

A perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum

B kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut

C pelaku tersebut bersalah

D norma yang dilanggar mempunyai strekking untuk mengelakkan timbulnya kerugian



C Hubungan Klausula Eksonerasi Dengan Perjanjian Klausula Baku

Sistem hukum perdata di Indonesia khususnya mengenai perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata menganut  sistem terbuka, artinya setiap orang bebas membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan para pihak, atau berlakunya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata, asas inilah yang menjadi landasan luas bagi kreditor untuk membuat mempersiapkan dahulu bentuk, isi, dan syarat-syarat dari perjanjian dalam bentuk baku yaitu bentuk blanko dan berlaku secara umum, sedangkan pihak debitor hanya dapat menyepakati.

Tujuannya untuk menekan serendah mungkin risiko kerugian yang mungkin timbul bagi perusahaan dalam menjalankan hubungan bisnis dengan pihak luar, juga merupakan cara yang cepat dan praktis dalam melayani para konsumen dari perusahaaan tersebut secara massal, sehingga kreditor akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu.

Posisi kreditor pada umumnya cenderung lebih kuat dibandingkan dengan konsumen, sehingga terdapat ketidaksetaraan posisi dari masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut. Debitor tidak mempunyai kekuatan melakukan penawaran untuk mengubah persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak kreditor, sehingga cenderung menerima persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh kreditor.

Kondisi yang demikian, sangat dimungkinkan kreditor memasukan klausula eksonerasi dalam isi perjanjian baku. Klausula eksonerasi, adalah perjanjian yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang merugikan konsumen.[5]

Klausula eksonerasi dalam pelaksanaaan perjanjian baku dikemudian hari jika pihak debitor merasa dirugikan atau terdapat kepentingannya yang tidak dilindungi, dapat menimbulkan permasalahan hukum. Penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku, bagi debitor dapat sebagai alasan untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian baku yang telah disepakati sebelumnya.










BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan


Klausula Baku diartikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat­-syarat yang telahdipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai “standard contract atau take it or leave it contract”. Dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian, maka konsumen tidak dapat lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika dilihat dari hal ini, maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.
Dengan menerapkan klausula baku ini, pihak pembuat kontrak sering kali menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat ketentuan–ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya.Terlebih jika posisi tawar antara para pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah akan dirugikan dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan bagi konsumen dalam keadaan–keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam aturan–aturan dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen.   










DAFTAR PUSTAKA



Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992),

John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007),



Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisinis, (Bandung: Alumni, 1994),



Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, ( Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), h. 93



Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Kencana, 2013),
























[1]John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007), hal 54
[2] . Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Kencana, 2013), hal 66
[3]Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 6
[4]Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisinis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 54

[5]Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, ( Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), h. 93