TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN


A. Pengertian Perkawinan dan Tujuan Perkawinan

    Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara. Didalam Pasal 1 UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahag ia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut perundangan perkawinan itu ialah “ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita” yang artinya perkawinan sama dengan “perikatan” (verbindthenis).[9]
       Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat perbedaan-perbedaan menurut agama kepercayaan masyarakat. Aturan keseluruhan agama mempunyai tata aturan sendiri-sendiri baik secara vertical maupun horizontal, termasuk didalamnya tata cara perkawinan.[10] Meskipun terdapat perbedaan tetapi setiap aturan pada agama tersebut tidak saling bertentangan, karena aturan perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaan itu dari pihak yang akan melangsungkan kawin.
    Didalam Kompilasi Hukum Islam dasar-dasar perkawinan tertulis dalam BAB II, sebagaimana ditegaskan didalam pasal 2 yaitu perkawinan menurut hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menataati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut hukum agama Islam perkawinan dijalankan berdasarkan perintah Allah yang bertujuan untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pendapat-pendapat tentang pengertian perkawinan antara lain adalah: [11]
    a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna
        tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.
    b. Menurut Sajuti Thalib: perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh untuk         hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
        membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan
        bahagia

    Pada intinya perkawinan dalam Islam bertujuan untuk menegakkan agama, untuk memperoleh keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur.
      Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan perkawinan. Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.[12] Tujuan perkawinan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (keluarga yang tentram penuh kasih sayang). Tujuan-tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, adakalanya dalam kehidupan rumah tangga terjadi salah paham, perselisihan, pertengkaran, yang berkepanjangan sehingga memicu putusnya hubungan antara suami istri.


B. Rukun, Syarat Sah dan Asas-Asas Perkawinan

1. Rukun Perkawinan

    Pada pelaksanaan perkawinan, calon mempelai harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri,jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinanadalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat perkawinan. Kalau salah satu syarat-syarat perkawinan tetapi tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah.
    Dalam perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam harus memenuhi rukun nikah, yang merupakan rukun nikah yaitu:
    a. Adanya mempelai pria
    b. Adanya mempelai wanita
    c. Adanya wali nikah (bagi perempuan)
    d. Adanya saksi nikah (dua orang laki-laki)
    e. Adanya akad (ijab dari wali perempuan/walinya dan qabul dari mempelai pria atau 
        walinya). [13]

2. Syarat Sah Perkawinan
    Syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Sah atau tidaknya suatu perkawinan tidak terlepas dari syarat yang harus dipenuhi. Dalam suatu acara perkawinan syarat sahnya suatu perkawinan tidak boleh tertinggal. Dalam arti perkawinan tidak sah bila syaratnya tidak ada atau tidak lengkap.[14] Sahnya Perkawinan menurut Peraturan Perundang-Undangan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaan itu”. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Buddha menurut yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.
        Perkataan sah berarti menurut hukum perkawinan, kalau melaksanakan perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah dimata hukum.[15] Pada pelaksanaan perkawinan, calon mempelai harus memenuhi syarat perkawinan, yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat perkawinan. Kalau salah satu syarat-syarat perkawinan tetapi tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah dan perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak yang melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 UU Perkawinan Tahun 1974 menyebutkan:
    a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya 
        dan kepercayaannya.
    b. Tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 
       maksudnya seperti penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yaitu “dengan 
       perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing 
       agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 
      (selanjutnya disebut dengan UUD 1945).” [16]

    Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung pada ketentuan agama dan kepercayaan dari masing-masing individu atau orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan.
    Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan harus terjadi sesuai dengan peraturan Undang-undang dan kepercayaan agama.

3. Asas-Asas Perkawinan

    Dalam UU Perkawinan ditentukan prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip atau asas yang tercantum dalam UU Perkawinan adalah sebagai berikut:
    a. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.             Pasangan suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing 
        dapat mengembangkan kepribadiannya membantu mencapai kesejahteraan lahir batin.
    b. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan 
        kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut 
        peraturannperundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah 
        sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, 
        misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan suatu akta 
        resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
    c. Asas monogami terbuka, yaitu pada asasnya seorang suami pada waktu yang sama 
        tidak boleh mempunyai isteri lebih dari satu. Namun demikian apabila dikehendak 
        oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
        mengijinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Apabila hal tersebut 
        dikehendaki, hanya dapat dilakukan jika telah terpenuhi berbagai persyaratan tertentu 
        dan diputuskan oleh pengadilan.
    d. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan 
        perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang 
        baik dan sehat, oleh karena itu dibutuhkan batas usia minimal perkawinan.
    e. Mempersukar perceraian merupakan asas hukum perkawinan. Karena tujuan 
        perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. 
        Selanjutnya untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta 
        harus di depan sidang Pengadilan.
    f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dngan hak dan kedudukan suami, baik 
        dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan 
        demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama 
        oleh suami isteri.


C. Perkawinan dibawah Umur

        Perkawinan dibawah Umur menurut konsep Undang-undang Perkawinan. Berdasarkan Undang-undang R.I yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa belum ada pengertiannya. UU Perkawinan Tahun 1974 hanya mengatur tentang:
    a. Izin orang tua bagi yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai 
        umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2).
    b. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan 
        wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat 2).
    c. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam 
        kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat 1).
    d. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak 
        berada di bawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali (Pasal 50 
        ayat 1)

    Dalam pasal 7 UU Perkawinan Tahun 1974 disebutkan, untuk dapat menikah, pihak laki-laki harus sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Meskipun demikian, penyimpangan terhadap batas usiatersebut dapat terjadi jika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak laki-laki maupun perempuan.[17]
    Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebis sama. Pasal 15 KHI, menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti Pasal 7 UU Perkawinan Tahun 1974. Pada hakikatnya perkawinan dibawah umur juga mempunyai sisi positif. Kita dapat melihat bahwa saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda/mudi sering kali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasannya sudah melampaui batas, dimana akibat kebebsan tersebut kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila masyarakat. Fakta ini menunujukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai taraf yang memprihatinkan.
    Hukum Islam, dalam hal ini Al-Quran dan hadist memang tidak ada menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baliqh, berakal sehat, maupun membedakan yang baik dan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuan untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berubah pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa Pasal 1 UU ini anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun.


D. Dasar Hukum Dispensasi Perkawinan

    Dispensasi kawin merupakan perkawinan yang terjadi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh UU Perkawinan Tahun 1974. Pembatasan usia mengatur bahwa bagi mempelai pria boleh melangsungkan perkawinan pada umur 18 tahun sedangkan bagi perempuan berumur 16 tahun. Dimana bagi seorang pria dan seorang wanita yang belum batasan usia tersebut, tetap dapat atau diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan, selain atas izin dari kedua orang tua, juga dengan minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.[18]
    Batasan usia perkawinan diperlukan untuk menentukan apakah perkawinan tersebut merupakan perkawinan di bawah umur ataukah bukan. Batasan usia sebagai salah satu instrument penilaian yang dinyatakan secara kuantitatif akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namu salah satu dari kedua mempelainya atau terkadang kedua mempelainya belim baligh dan secara psikis belum siap menjalankan tanggugjawab kerumah tanggaan. Menurut MUI yang dijadikan batasan adalah baligh. Sementara itu kriteria baligh sifatnya kualitatif dan sangat relative bagi setiap orang.[19]
    Dalam batas usia pernikahan, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan UU Perkawinan Tahun 1974, pada Pasal 15 ayat (2) KHI menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Perkawinan Tahun 1974.
    Menurut hukum adat, perkawinan bukan hanya merupakan suatu peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja akan tetapi termasuk juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur dari kedua belah pihak. [20] Konsepsi perkawinan dari hukum adat sangat luas makanya jika dibandingkan dengan perkawinan menurut KUH Perdata dan UU Perkawinan Tahun 1974 yang secara tegas telah membatasi syarat formil perkawinan bagi kedua mempelai.






[9]Hilman Hadikusuma,Op.cit., hlm.6-7
[10]Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm.6.
[11]Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 2.
[12]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UI Pess, 2000, hlm. 86.
[13]Mitra sejati perempuan Indonesia, Tanya Jawab Seputar Hukum Perkawinan, Banda Aceh 2007, hlm.11.
[14]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 59.
[15]Hilman Hadikusuma, Op.cit., hlm.25
[16]Tinjauan Umum Tentang Pernikahan hlm 14. Www.Repository.Usu.Ac.Id, Diakses pada tanggal 1 Maret 2018, Pukul 14.55 WIB
[17]Ibid, hlm.14.
[18]Amelia, Disharmoni Pengaturan Pemberian Izin dan Dispensasi Melangsungkan Perkawinan dengan Pengaturan Perlindungan Anak atas Kesehatan, Artikel dalam"Rechtidee Jurnal Hukum", Vol 9, No 1, Tahun 2001, hlm.1
[19]Ali Imron, Dispensasi Perkawinan Perspektif Perlindungan Anak. Artikel dalam "Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI", Vol 5 No.1, Tahun 2011, hlm. 73.
[20]Tolib setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan. Cetakan Kedua,Bandung : Alfabeta, 2009, hlm.225