BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada
dasarnya perjanjian berawal dari suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal. Perumusan hubungan
perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi
diantara para pihak. Melalui negoisasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk
kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang dinginkan (kepentingan)
melalui proses tawar menawar.
Hukum
perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan
konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya
hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang
mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling
berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
Pada umumnya
perjanjian berawal dari
perbedaan kepentingan yang
dicoba dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan
tersebut diakomodir dan selanjutnya
dibingkai dengan perangkat
hukum sehingga mengikat
para pihak. Dalam perjanjian,
pertanyaan mengenai sisi
kepastian dan keadilan
justru akan tercapai
apabila perbedaan yang
ada di antara
para pihak terakomodir
melalui mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan
Terdapat
beberapa jenis perjanjian antara lain: Perjanjian Timbal Balik, Perjanjian
Cuma-Cuma, Perjanjian Atas Beban, Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama,
Perjanjian Obligatoir, Perjanjian Kebendaan, Perjanjian Konsensual, Perjanjian
Real, Perjanjian Liberatoir, Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan,
Perjanjian Publik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN PERJANJIAN
a.
KUHPerdata Pasal 1313
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan
terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst
tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan
dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.[1]
b.
Abdul Kadir dan Subekti
Suatu perjanjian adalah semata-mata
untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum.
Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam
dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual
beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang,
pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.
Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUHPer
mengandung kelemahan karena:[2]
a)
Hanya menyangkut sepihak saja.
Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat”
sifatnya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak saling
mengikatkan diri”, dengan demikian terlihat adanya konsensus antara
pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.
b)
Kata “perbuatan” termasuk di dalamnya konsensus.
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus.
Seharusnya digunakan kata persetujuan
c)
Pengertian perjanjian terlalu luas
Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin
yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian
yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUHPer adalah perjanijan yang berakibat di
dalam lapangan harta kekayaan, sehingga perjanjian di luar lapangan hukum
tersebut bukan merupakan lingkup perjanjian yang dimaksudkan.
d)
Tanpa menyebutkan tujuan.
Rumusan Pasal 1313 KUHPer tidak
mencantumkan tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang
mengikatkan diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.
Sedangkan menurut Subekti istilah perjanjian sering disebut
juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst.
Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak
itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan
(perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.[3]
c.
Kamus Hukum Black Law Dictionary (Contract)
Di dalam Black’s Law
Dictionary, yang diartikan dengan
contract adalah An agreement between two
or more person
which creates an
obligation to do
or not to do particular thing. Artinya,
kontrak adalah suatu
persetujuan antara dua
orang atau lebih,
di mana menimbulkan sebuah
kewajiban untuk melakukan
atau tidak melakukan
sesuatu secara sebagian.[4]
Black’s law dictionary perjanjian adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah
kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. Inti
definisi yang tercantum dalam black’s Law Dictionary adalah bahwa kontrak
dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik
melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.
2.2
UNSUR – UNSUR DARI
PERJANJIAN
Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui
apakah yang dihadapi adalah suatu
perjanjian atau bukan,
memiliki akibat hukum
atau tidak. Unsur-unsur yang terdapat dalam suatu
perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut;[5]
1)
Ada pihak-pihak.
Pihak yang dimaksud
adalah subyek perjanjian
yang paling sedikit
terdiri dari dua orang atau
badan hukum dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan
undang-undang.
2)
Ada persetujuan.
Persetujuan
dilakukan antara pihak-pihak
yang bersifat tetap
dan bukan suatu perundingan.
3)
Ada tujuan yang hendak dicapai.
Hal ini dimaksudkan
bahwa tujuan dari
pihak kehendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan undang-undang.
4)
Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Hal itu dimaksudkan
bahwa prestasi merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian.
5)
Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Hal ini berarti
bahwa perjanjian bisa
dituangkan secara lisan
atau tertulis. Hal ini
sesuai ketentuan undang-undang
yang menyebutkan bahwa
hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan
mengikat dan bukti yang kuat.
6)
Ada syarat-syarat tertentu
Syarat menurut
undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.
Menurut Herlien Budiono,
perjanjian yang dirumuskan
dalam Pasal 1313 KUHPer adalah perjanjian obligatoir,
yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi, mengubah atau menghapuskan perikatan
yang menimbulkan hubungan-hubungan hukum di antara para pihak, yang membuat
perjanjian di bidang harta
kekayaan atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi,
sedangkan pihak lainnya berhak
menuntut pelaksanaan prestasi
tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah
pihak secara timbal balik.[6]
Berdasarkan
pendapat tersebut maka
unsur–unsur perjanjian menurut
Herlien Budiono terdiri atas;
1)
Kata sepakat dari dua
pihak;
2)
Kata sepakat yang
tercapai harus tergantung kepada para pihak;
3)
Keinginan atau tujuan
para pihak untuk timbulnya akibat hukum;
4)
Akibat hukum untuk
kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik;
5)
Dibuat dengan
mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]
2.3
ASAS-ASAS PERJANJIAN
Sebelum membahas
mengenai asas-asas perjanjian,
maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian tentang asas
berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana.
Beberapa sarjana mencoba
menguraikan arti dan
pengertian dari asas
yang dimaksud. Sudikno
berpendapat bahwa.[8]
Asas
hukum bukan merupakan hukum konkrit,
asas hukum merupakan pikiran
dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan
konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan
dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat atau
ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut.
Asas hukum
berfungsi sebagai pembangun
sistem sebagaimana diuraikan oleh Niewenhuis: “Asas hukum
berfungsi sebagai pembangun sistem karena asas-asas itu bukan hanya mempengaruhi
hukum positif, tetapi
juga di dalam
banyak keadaan menciptakan suatu
sistem. Jadi suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asa -sasas. Lebih
lanjut asas-asas itu sekaligus
membentuk sistem “check
and balance”, artinya asas-asas
itu akan saling
tarik menarik menuju
proses keseimbangan.”[9]
Asas hukum juga merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak
atau merupakan latar belakang peraturan
konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri
yang umum dalam peraturan konkrit
tersebut.
Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang
bersifat umum dan terdapat dalam hukum
positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan
ciri-ciri umum dari peraturan konkrit
tersebut.
Asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme,
dan asas pacta sunt-servanda. Di samping
asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.
a.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang
sangat penting dalam hukum kontrak.
Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang
mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata
yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada
seseorang untuk secara bebas dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:[10]
· bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau
tidak;
· bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
· bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
· bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
· kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang
menjamin kebebasan orang dalam melakukan
kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya
merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya
(mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya
memaksa.
Menurut
Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
meliputi ruang lingkup;[11]
·
Kebebasan untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian
·
Kebebasan untuk
memilih pihak dengan
siapa ia ingin
membuat perjanjian.
·
Kebebasan untuk menentukan atau
memilih kausa dari
perjanjian yang akan dibuatnya.
·
Kebebasan untuk
menentukan objek perjanjian.
·
Kebebasan untuk
menentukan bentuk suatu perjanjian.
·
Kebebasan untuk
menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional
(aanvullend optional).
Asas
kebebasan berkontrak, tidak berdiri
sendiri, berada dalam satu sistem utuh
dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya:[12]
·
Pasal 1320 KUHPer
mengenai syarat sahnya perjanjian.
·
Pasal 1335 KUHPer
yang melarang dibuatnya kontrak tanpa kausa atau dibuat berdasarkan kausa
palsu/terlarang.
·
Pasal 1337
KUHPer suatu sebab
adalah terlarang apabila
dilarang oleh undandg-undang atau
apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
·
Kalimat ketiga
Pasal 1338 KUHPer,
perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik.
·
Pasal 1339 KUHPer,
terikatnya perjanjian pada sifat, kepatutan, kebiasan dan undang-undang.
·
Pasal 1347
KUHPer mengenai hal-hal
yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara
diam-diam dimasukkan dalam kontrak
b.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berasal
dari kata latin
”consensus” yang artinya
sepakat. Para pihak
sepakat atau setuju
mengenai prestasi yang
diperjanjikan. Apabila dikaitkan dengan kalimat pertama Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa ”Semua
persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Kata
“sesuai dengan undang-undang”
berarti bahwa pembuatan perjanjian yang
sesuai dengan undangundang/hukum adalah
mengikat. Sesuai dengan undang-undang berarti memenuhi keempat syarat yang
terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPer.
Asas konsensual
merupakan inti dari suatu
perjanjian, namun demikian pada situasi tertentu
terdapat perjanjian yang
tidak mencerminkan
kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan karena adanya
cacat kehendak karena kesesatan
(dwaling), penipuan (bedrog)
atau paksaan (dwang) yang mempengaruhi timbulnya
perjanjian.
Menurut Muhammad
Syaifuddin bahwa asas
konsensualisme tidak hanya terdapat pada periode pra
perjanjian, namun juga terdapat pada
pelaksanaan dan pemutusan
perjanjian. Hal ini
dapat dilihat dari
apa yang terkandung
dalam kalimat kedua Pasal
1338 KUHPer yang
menyatakan bahwa “Persetujuan
itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang.undang.”
Asas
konsensualisme ini tidak
harus ada pada
saat pembuatan perjanjian
(vide Pasal 1320 KUHPer),
tetapi juga harus
ada pada saat
pelaksanaan perjanjian, bahkan
harus pula ada pada saat pemutusan
perjanjian.[13]
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara
tertulis atau dengan akta Notaris, akan
tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu
untuk beberapa macam perjanjian karena
adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi
syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320
KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta Perjanjian yang telah terbentuk dengan
tercapainya kata sepakat (consensus) di
antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi
sehingga dikatakan juga perjanjian ini
sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka
tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja
dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.
c.
Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah “pacta
sunt servada” adalah
merupakan suatu perjanjian
yang telah dibuat secara
sah oleh para
pihak, mengikat para
pihak secara penuh
sesuai dengan isi perjanjian.
Mengikat secara penuh
artinya kekuatannya sama
dengan undang-undang,
sehingga apabila salah
satu pihak tidak
memenuhi kewajiban yang telah
disepakati dan dituangkan
dalam perjanjian, maka
oleh hukum disediakan sarana
ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul
dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian
yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang.
Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya
"hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah
oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian
hukum.Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1)
Kedudukan para pihak
dalam perjanjian itu seimbang;
2)
Para pihak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum.
Menurut Herlien
Budiono,[14]
asas ini
melandasi pernyataan bahwa
suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu
para pihak terikat untuk melaksanakan
kesepakatan kontraktual. Suatu
kesepakatan harus dipenuhi dianggap
sudah terberi dan
tidak dipertanyakan kembali.
Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan
oleh para pihak sendiri.
Gunawan Widjaja
memberikan pendapatnya berkaitan
dengan pelaksanaan dari asas
pacta sunt servada yang diuraikan sebagai berikut: “Pemaksaan berlakunya dan
pelaksanaan dari perjanjian berkaitan dengan asas ini hanya
dapat dilakukan oleh
salah satu atau
lebih pihak dalam
perjanjian terhadap pihak pihak lainnya
dalam perjanjian, artinya
setiap pihak, sebagai kreditor yang
tidak memperoleh pelaksanaan
kewajiban oleh debitor,
dapat atau berhak memaksakan
pelaksanaannya dengan meminta
bantuan pada pejabat negara
yang berwenang yang
akan memutuskan dan
menentukan sampai seberapa jauh
suatu prestasi yang
telah gagal, tidak
sepenuhnya atautidak sama
sekali dilaksanakan atau
dilaksanakan tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan masih
dapat dilaksanakan, semuanya
dengan jaminan harta kekayaan debitor sebagaimana diatur
dalam Pasal 1131 KUHPer.”[15]
d.
Asas Itikad Baik
Asas
itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan
dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.
Dan menyatakan bahwa ”Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bahwa perjanjian harus dilaksanakan
menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik meliputi segala
tahapan hubungan perjanjian,
baik dari fase
pra perjanjian, fase perjanjian, dan fase pasca perjanjian.
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam
hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).[16]
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau
bersih. Seorang pembeli beritikad baik
adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang
yang dibelinya, dalam arti cacat
mengenai asal-usulnya.
Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata adalah bahwa dalam
pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338
ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan
pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai
pelaksanaan itu
melanggar kepatutan dan keadilan.
Dalam
Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggaran oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), itikad baik diartikan sebagai:
·
Kejujuran pada waktu
membuat perjanjian;
·
Pada tahap pembuatan
ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, para
pihak dianggap bertikad baik.
·
Sebagai kepatutuan
dalam tahap pelaksanaan.
e.
Asas Kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak
mana yang terikat pada perjanjian. Asas
ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pada Pasal 1315
disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji daripada
untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa
perjanjian-perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain
dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.
Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan
tidak dapat mengikat pihak lain.Maka
asas ini dinamakan asas kepribadian.
2.4
SYARAT SAH PERJANJIAN
A.
Syarat Sah Perjanjian yang Umum
Syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat umum,berdasar ketentuan hukum yang berlaku Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat
komulatif (keempat-empatnya harus dipenuhi) yang terdapat dalam Pasal tersebut,
yaitu:
a.
Adanya kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan diri
Syarat
pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Yang mana
sepakat mengandung arti persesuaian kehendak di antara
pihak-pihak yang mengikatkan diri ke
dalam perjanjian. Menurut
Herlien Budiono, sepakat artinya
“perjanjian hanya dapat
timbul dengan kerjasama
dari dua orang atau
lebih atau perjanian
“dibangun” oleh perbuatan
dari beberapa orang sehingga
perjanjian digolongkan sebagai
perbuatan hukum berganda.[17]
Menurut
Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara
dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh
pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara
timbal balik.[18]
Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga
hal, yaitu adanya unsur
a)
Paksaan (dwang, duress)
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan
paksaan ialah: “kekerasan jasmani atau
ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang
menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Jadi,
bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya seseorang yang lebih kuat
memegang tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda
tangan pada sebuah perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama
sekali tidak terjadi.”
Sedangkan menurut Subekti, paksaan yang dimaksud
adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan
(fisik). Paksaan terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan
lain selain menyetujui persetujuan itu dan paksaan itu mungkin saja dilakukan
oleh pihak ketiga
b)
Penipuan (bedrog, fraud)
Yang dimaksud dengan penipuan dalam suatu kontrak
adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga
menyebabkan pihak lain dalam kontrak tersebut telah menandatangani kontrak
tersebut, tipu muslihat yang dimaksud di sini haruslah bersifat substansial.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa satu macam
pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus
serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya
merupakan suatu tipu muslihat. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan.
Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif
untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat
lainnya. Dan pihak yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk
pembatalan perjanjian.
c)
Kesilapan/ kekeliruan (dwaling, mistake)
Kekeliruan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai
barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kekhilafan
mengenai orang terjadi misalnya jika seorang direktur opera membuat kontrak
dengan orang yang dikiranya sebagai penyanyi tersohor, tetapi kemudian ternyata
bukan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kesilapan
mengenai barang terjadi misalnya jika orang membeli sebuah lukisan yang
dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian hanya turunan saja.
Apabila
perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak,
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, dan sebagaimana pada pasal 1321 KUH
Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan
atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Seseorang
dikatakan telah memberikan sepakatnya (toestemming), kalau orang memang
menghendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya merupakan pertemuan
antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa
yang dikehendaki pihak lain.[19]
Menurut
Mariam Darus Badrulzaman ada empat teori tentang saat terjadinya sepakat yaitu:[20]
a.
Teori kehendak (wilstheorie)
mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat dinyatakannya kehendak pihak
penerima.
b.
Teori pengiriman (verzendtheorie)
mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu
dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c.
Teori pengetahuan (vernemingstheorie)
mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa
tawarannya diterima.
d.
Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie)
mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak
dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Kesepakatan
dalam hal ini harus timbul tanpa ada unsur paksaan, intimidasi ataupun
penipuan. Berikut ini dasar hukumnya:
1)
Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan:
“Tidak ada
sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan”. Pasal ini digunakan sebagai dasar hukum dari
batalnya perjanjian karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
Perjanjian batal dalam KUHPerdata berarti dua hal, yaitu perjanjian batal demi
hukum atau dapat dibatalkan.
2)
Pasal 1322 KUHPerdata menyatakan:
“Kekhilafan
tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu
terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.
3)
Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan:
“Paksaan
yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan
untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang
pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
4)
Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan:
“Penipuan
merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang
dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupasehingga terang dan nyata
bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan
tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan.”
b.
Kecakapan bertindak para pihak
untuk membuat perjanjian
Kecakapan yaitu bahwa
para pihak yang mengadakan
perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan
berwenang melakukan perjanjian. Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata
menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali
yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian
atau mengadakan hubungan hukum. Pada
asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap
menurut hukum.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian yakni:
· Orang yang belum dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
Ø Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang
membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi
sudah menikah dan sehat pikirannya.
Ø Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974
tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang
Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19
tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
· Mereka yang berada di bawah pengampuan.
· Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
· Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Seseorang adalah cakap apabila ia pada umumnya
berdasarkan ketentuan undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian
dengan akibat-akibat hukum yang sempurna.[21] Masalah kewenangan
bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang
berkembang dapat dibedakan ke dalam:[22]
1)
Kewenangan untuk bertindak untuk
dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk
bertindak dalam hukum.
2)
Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yangdalam hal ini tunduk
pada ketentuan yang diatur dalam Bab
XIV KUHPerdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.
3)
Kewenangan untuk bertindak dalam
kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
Syarat
sahnya perjanjian yang kedua ini sama dengan syarat kesepakatan para pihak,
termasuk dalam syarat subjektif. Tidak terpenuhinya syarat kecakapan bertindak
ini memiliki akibat yang sama dengan tidak terpenuhinya syarat kesepakatan dari
para pihak, yang berarti berakibat perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
c. Ada suatu hal tertentu
(objek perjanjian)
Yang
dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek
perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan
suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata
Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa
suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian
yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak
menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
Hal tertentu
memiliki juga mempunyai arti sebagai
obyek perjanjian/pokok perikatan/ prestasi atau
kadang juga diartikan
sebagai pokok prestasi.
Suatu hal tertentu adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan
apa yang menjadi hak dari kreditor. Menurut Asser-Rutten
sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono bahwa “suatu hal tertentu sebagai
obyek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang
timbul dari perjanjian.”
Tujuan dari
perjanjian adalah untuk
timbul, berubah atau
berakhirnya suatu perikatan.
Prestasi yang dimaksud bisa berupa tindakan yang mewajibkan kepada para pihak
untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
Kewajiban tersebut harus
dapat ditentukan. Ketentuan
Pasal 1332 KUHPer menyebutkan “hanya
barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok persetujuan.” Arti
dari ketentuan ini
bahwa barang yang
dapat dijadikan sebagai obyek
perjanjian adalah dapat
dinilai dengan uang
atau memiliki nilai ekonomis, sehingga
jika terjadi perselisihan
dapat dengan mudah
ditentukan nilainya.
Secara
yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui.
Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap
perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian
penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
Rumusan
Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan untuk sahnya perjanjian memerlukan
syarat, “suatu hal tertentu”.
Riduan Syahrani memberikan keterangan mengenai syarat ini
sebagai berikut:[23]
“Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang
yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang
menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus
ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja
kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal 1334
ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian
hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.”
Suatu hal
tertentu yang dimaksud adalah harus ada objek perjanjian yang jelas. Objek yang
diatur dalam perjanjian harus jelas terperinci atau setidaknya dapat
dipastikan. Jika objek itu berupa suatu barang, maka barang itu
setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Objek perjanjian yang jelas dapat
memberikan jaminan kepada para pihak yang membuat perjanjian dan mencegah
perjanjian yang fiktif.
Selain
objeknya harus jelas, suatu hal tertentu di sini harus pula:
1)
Benda yang menjadi objek perjanjian
harus benda yang dapat diperdagangkan;
2)
Barang-barang yang dipergunakan
untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung
umum dan sebagainya tidak dapat dijadikan
objek
perjanjian;
3)
Dapat berupa barang yang sekarang
ada atau yang nanti akan ada.
Syarat ini
termasuk dalam kategori syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat objektif ini
mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum.
d. Adanya suatu sebab yang
halal
Syarat
keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa
yang halal. Kententuan Pasal 1335 KUHPer menyatakan bahwa “Suatu
persetujuan tanpa sebab
atau dibuat berdasarkan
suatu sebab yang
palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan”. Arti
dari pasal ini
adalah perjanjian itu menjadi, batal demi hukum.
Menurut
Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab yang diperbolehkan atau halal berarti
kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian, atau suatu sebab yang halal
ialah setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
1)
tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan;
2)
tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum;
3)
tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan.
Kata
“ketertiban umum” mengacu
pada asas-asas pokok
fundamental dari tatanan masyarakat.
Perbedaan antara nilai
kesusilaan dengan ketertiban
umum, dilihat dari titik
tolak penilaiannya. Titik
tolak nilai kesusilaan
adalah pada hubungan intern
perorangan, sedangkan pada nilai ketertiban umum yang menjadi titik tolak
penilaiannya adalah elemen kekuasaan.
Yang dimaksud dengan kausa bukanlah hubungan sebab
akibat, sehingga pengertian kausa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan ajaran kausaliteit.
Berikut ini
adalah ketentuan hukum dalam KUHPerdata yang mengatur mengenai sebab yang
halal:
1)
Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan
“Suatu
persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”
Tidak mempunyai kekuatan hukum karena jika perjanjian
dibuat tanpa tujuan yang jelas, tidak mungkin dapat dilindungi oleh hukum. Agar
memiliki kekuatan hukum, perjanjian haruslah memiliki tujuan yang jelas,
sehingga dapat ditentukan tujuan tersebut sudah sesuai dengan aturan
perundang-undangan, kesusilaan, agama, atau tidak.
2)
Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan
“Jika tidak
dinyatakan suatu sebab, tetapi ada satu sebab yang halal, ataupun jika ada
suatu sebab yang lain yang daripada yang dinyatakan itu, perjanjiannya adalah
sah.”
3)
Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan
“Suatu sebab
adalah terlarang, apabila terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”
Dalam akta perjanjian sebab dari
perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi dengan syarat, yaitu:
· pertama dan kedua disebut syarat
subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang
mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian
tersebut dapat diminta pembatalan.
· syarat ketiga dan keempat merupakan syarat
objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila
syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan
asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Keempat syarat
tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Syarat pertama dan kedua disebut
syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat
ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.
Tidak terpenuhinya syarat subjektif menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan,
yang artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk
membatalkan perjanjian yang telah disepakati tersebut, sedangkan bila tidak
terpenuhinya syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi hukum.
B.
Syarat Sah Perjanjian yang Khusus
Sedangkan syarat sah yang khusus perjanjian antara
lain menurut Munir Fuady adalah:
a.
Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak
mensyaratkan suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi
untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat khusus agar perjanjian itu dapat
mulai berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat
khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat
tertulis bagi suatu perjanjian adalah:
·
Ketentuan umum tidak
mempersyaratkan.
·
Dipersyaratkan untuk
perjanjian-perjanjian tertentu.
·
Dipersyaratkan untuk perjanjian
atas barang-barang tertentu.
·
Dipersyaratkan karena kebutuhan
praktek.
b.
Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu
Selain dari syarat tertulis terhadap
perjanjian-perjanjian tertentu, untuk perjanjian-perjanjian tertentu
dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis tersebut harus dibuat oleh/di
hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal), misalnya:
·
Perjanjian hibah yang harus dibuat
di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda
tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi
benda bergerak berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung
bendanya.
·
Perjanjian jual beli tanah yang
harus dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan
dalam perundang-undangan di bidang pertanahan.
c.
Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang
Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para
pihak semata-mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam
kontrak tersebut, sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak
diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga
diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:
·
Perjanjian peralihan objek
tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna usaha atau perjanjian peralihan
hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang
untuk itu.
·
Perjanjian penitipan barang yang
sejati yang memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan barangnya secara
sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan.
Atau ada
pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi
beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar
suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1.
Syarat sah yang obyektif
berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.
Objek / Perihal tertentu
b.
Kausa yang diperbolehkan /
dihalalkan / dilegalkan
2.
Syarat sah yang subjektif
berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.
Adanya kesepakatan dan kehendak
b.
Wenang berbuat
3.
Syarat sah yang umum di luar pasal
1320 KUH Perdata
a.
Kontrak harus dilakukan dengan
I’tikad baik
b.
Kontrak tidak boleh bertentangan
dengan kebiasaan yang berlaku
c.
Kontrak harus dilakukan berdasarkan
asas kepatutan
d.
Kontrak tidak boleh melanggar
kepentingan umum
4.
Syarat sah yang khusus
a.
Syarat tertulis untuk
kontrak-kontrak tertentu
b.
Syarat akta notaris untuk
kontrak-kontrak tertentu
c.
Syarat akta pejabat tertentu
(selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d.
Syarat izin dari pejabat yang
berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
4.5
JENIS-JENIS PERJANJIAN
Mengenai
perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang
tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap,
bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan
perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh
karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian
itu:
1.
Perjanjian bernama,
yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang
termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa
menyewa, dan lain-lain.
2.
Perjanjian-perjanjian
yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang
menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuanketentuan yang ditetapkan oleh
para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.[24]
3.
Dalam KUH Perdata
Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:
a.
Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang
Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai
dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar
menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.
b.
Perikatan untuk berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam
Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap perikatan untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh perjanjian ini adalah
perjanjian hutang.
c.
Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh
perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat,
perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.
Setelah
membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau
diluar KUH Perdata dan macam
Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,
1)
Perikatan bersyarat,
adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari,
yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
Pertama
mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila
kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu,
mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau
mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu contoh saya berjanji
pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini
dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari
ujian.membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:
2)
Perikatan yang
digantungkan pada suatu ketepatan waktu
(tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu
ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau
tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan
datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya
meninggalnya seseorang.
3)
Perikatan yang
memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua
atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana
ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau
mobilnya atau satu juta rupiah.
4)
Perikatan tanggung
menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana
beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu
orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak
menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini,
sedikit sekali terdapat dalam praktek.
5)
Perikatan yang dapat
dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau
tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya
tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu
perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah
tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan
oleh beberapa orang lain.
Hal
mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia
digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.
6)
Perikatan dengan
penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang
dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman,
apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang
tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula
sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim
mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah
sebahagian dipenuhi.
Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian
dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Perjanjian timbal balik.
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2.
Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian
dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja. Misalnya: hibah.
Perjanjian
atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum.
3.
Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum
(onbenoend).
Perjanjian
khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa
perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian khusus terdapat dalam
Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar
perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak
diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah
perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah
berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang
berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum
adalah perjanjian sewa beli.
4.
Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian
kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas
sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian
dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak
lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5.
Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian
konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6.
Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.
a.
perjanjian liberatoir:
yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada,
misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;
b.
perjanjian pembuktian
(bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian
apakah yang berlaku di antara mereka.
c.
perjanjian
untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.
d.
Perjanjian publik:
yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik,
karena salah satu pihak bertindak sebagai
penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
Selanjutnya,
berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan perjanjian cuma-cuma
dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus Badrulzaman, perlu
dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang
mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan
kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga
memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham,
yaitu:
·
Faham pertama:
mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan
secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada
(contractus sui generic).
·
Faham kedua:
mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari
perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
·
Faham ketiga:
mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap
perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu
(teori combinatie).
Sedangkan
Muhammad Syaifuddin membagi bentuk perjanjian berdasarkan beberapa hal yakni;[25]
1)
Berdasarkan proses terjadinya/ terbentuknya.
Perjanjian
menurut proses terjadinya
atau terbentuknya dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yakni:
a.
Perjanjian Konsensual
Perjanjian yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat
antara pihak yang membuatnya. Misalnya, perjanjian jual beli menurut Pasal 1457
KUHPer terjadi pada saat timbulnya kesepakatan mengenai barang dan harganya.
b.
Perjanjian Riil.
Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, juga harus disertai dengan suatu
penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut Pasal 1741
KUHPer dan perjanjian
pinjam meminjam menurut
Pasal 1754 KUHPer.
c.
Perjanjian Formil.
Perjanjian yang
selain terdapat kata
sepakat, tapi juga
memiliki bentuk yang ditetapkan
oleh umdang-undang. Misalnya, perjanjian fidusia yang harus dibuat
dengan bentuk akta
notaris berdasarkan Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Fidusia.78
2)
Berdasarkan sifat dan akibat hukumnya.
Perjanjian berdasarkan
sifat dan akibat
hukum yang ditimbulkannya terdiri dari lima jenis yaitu;
a.
Perjanjian di bidang
hukum keluarga.
Perkawinan
yang merupakan perjanjian sui generis, yang didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai yang
mengandung beberapa aspek, yaitu
persetujuan untuk menikah
adalah perbuatan hukum,
hubungan hukum yang timbul di antara para pihak, peristiwa hukum yang
hampir seluruhnya diatur dalam
undang-undang dan bersifat
memaksa, dan terikatnya para
pihak selama dalam ikatan perkawinan.
b.
Perjanjian kebendaan.
Perjanjian yang
dibuat dengan mengindahkan
peraturan perundang-undangan,
timbul karena kesepakatan
antara dua belah pihak
dan ditujukan untuk menimbulkan,
beralih, berubah, berakhirnya
suatu hak kebendaan, khususnya
benda tetap, dan
dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan oleh undang-undang.
c.
Perjanjian obligatoir.
Perjanjian yang
timbul karena kesepakatan
dari dua belah
pihak atau lebih dengan
tujuan timbulnya suatu
perikatan untuk kepentingan
yang satu atas beban yang lain atau timbal balik.
d.
Perjanjian mengenai
pembuktian.
Perjanjian
yang timbul karena kesepakatan dari para pihak dengan tujuan membatasi ketentuan
mengenai cara atau
alat pembuktian atau
menghindari pengajuan perlawanan
pembuktian, sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan yang baik.
Para pihak dapat
menyepakati suatu klausula
dalam perjanjian bahwa mereka
hanya menggunakan satu
alat bukti atau menyerahkan beban pembuktian pada salah
satu pihak, apabila suatu saat perlu adanya
pembuktian.
e.
Perjanjian bersifat
kepublikan.
Perjanjian
yang timbul dari kesepakatan antara para pihak. yang satu atau kedua belah
pihak adalah badan hukum publik yang berwenang membuat perjanjian di
bidang hukum privat
dan melaksanakan semua
hak dan kewenangan yang
dimilikinya, kecuali dilarang oleh undang-undang.
3)
Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak yang
membuatnya.
Perjanjian
menurut hak yang kewajiban dari para pihak yang membuatnya terdiri dari dua
jenis yaitu;
a.
Perjanjian timbal
balik.
Perjanjian yang
dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban
kepada kedua pihak yang
membuat perjanjian. Misalnya
perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPer dan perjanjian sewa
menyewa Pasal 1548 KUHPer.
Dalam
perjanjian jual beli hak dan kewajiban adadi kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan
barang yang dijual dan berhak mendapat
pembayaran dan pihak
pembeli berkewajiban membayar
dan hak menerima barangnya.
b.
Perjanjian sepihak.
Perjanjian yang
dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah
satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban
hanya ada pada orang
yang menghibahkan yaitu
memberikan barang yang dihibahkan sedangkan
penerima hibah tidak
mempunyai kewajiban apapun.
Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban
apapun kepada orang yang menghibahkan.
4)
Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan
hukumnya.
Perjanjian berdasarkan
penamaan dan sifat
pengaturan hukumnya terdiri dari dua jenis yaitu;
a.
Perjanjian bernama
(benoemde contract atau nominaatcontract).
Perjanjian
yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus dalam KUHPer Bab V
sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, perjanjian
jual beli, perjanjian
sewa-menyewa, hibah, perjanjian
tukar-menukar, perjanjian
persekutuan perdata, perjanjian
untuk melakukan pekerjaan, perjanjian tentang
perkumpulan, perjanjian penitipan
barang, perjanjian pinjam pakai,
perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan
utang, perjanjian bunga
tetap, perjanjian untung-untungan
dan perjanjian perdamaian.
b.
Perjanjian tidak
bernama (innominaat contract).
Perjanjian
yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer tetapi timbul dan berkembang
di masyarakat berdasarkan
asas kebebasan berkontrak menurut Pasal 1338 KUHPer. Jumlah
perjanjian ini tidak terbatas dengan nama
yang disesuaikan dengan
kebutuhan pihak-pihak yang membuatnya. Misalnya
perjanjian pembiayaan konsumen,
perjanjian sewa guna usaha, perjanjian waralaba, perjanjian lisensi dan
lain-lain.Perjanjian tidak bernama
berdasarkan aspek pengaturan
hukumnya dibedakan menjadi tiga jenis yaitu;
·
Perjanjian tidak
bernama yang diatur
secara khusus dan
dituangkan dalam bentuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri.
Misalnya perjanjian production
sharing yang diatur
dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun
2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
·
Perjanjian tidak
bernama yang diatur
dalam peraturan pemerintah, misalnya perjanjian waralaba yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.
·
Perjanjian tidak
bernama yang belum diatur atau belum ada undangundang yang mengaturnya misalnya
kontrak rahim (surrogate mother)
5)
Perjanjian
menurut keuntungan satu
atau lebih pihak
dan adanya prestasi pada satu atau lebih pihak lainnya.
Perjanjian
jenis ini didasarkan pada adanya
prestasi atau timbulnya keuntungan, perjanjian ini dibedakan menjadi dua yaitu;
a.
Perjanjian dengan
cuma-cuma.
Perjanjian berdasarkan
Pasal 1314 kalimat
pertama KUHPer yang menyatakan “suatu
persetujuan adalah mana
pihak yang satu memberikan keuntungan
kepada pihak yang
lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya”.
Contoh perjanjian jenis
ini adalah perjanjian pinjam pakai,
hibah, perjanjian pinjam
meminjam tanpa bunga,
dan perjanjian penitipan barang tanpa biaya.
b.
Perjanjian atas beban.
Perjanjian atas
beban berdasarkan Pasal
1314 kalimat kedua
KUHPer yaitu “Suatu persetujuan
yang mewajibkan masing-masing
pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu.” Contoh perjanjian
jenis ini adalah
perjanjian jual-beli, perjanjian
sewa menyewa, perjanjian pinjam meminjam dengan bunga.
6)
Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya.
Perjanjian
menurut kemandirian dan fungsinya berarti jenis-jenis perjanjian yang
eksistensinya bersifat mandiri atau tidak mandiri dan fungsinya pokok atau
tambahan/bantuan. Perjanjian menurut
kemandirian dan fungsinya
dibedakan menjadi dua jenis yaitu;
a.
Perjanjian pokok.
Perjanjian yang
eksistensi bersifat mandiri
atau mempunyai eksistensi mandiri bagi
perjanjian itu sendiri.
Contohnya, perjanjian kredit
yang sifatnya mandiri, yang
eksistensi tidak tergantung
pada perjanjian lainnya. Perjanjian
kredit sebagian dikuasai atau mirip dengan perjanjian pinjam meminjam
uang yang diatur
dalam Pasal 1754
KUHPer dan pasal-pasal lainnya
yang terkait dan
relevan dalam KUHPer,
sebagian lainnya tunduk pada undang-undang yang mengatur perbankan.55
b.
Perjanjian
bantuan/tambahan.
Perjanjian yang
eksistensinya tidak mandiri
atau perjanjian yang
tidak mempunyai kemandirian untuk
eksistensinya perjanjian itu
sendiri, melainkan tergantung pada
perjanjian pokoknya, yang
fungsinya menyiapkan para pihak
untuk mengikatkan diri
pada perjanjian pokok tersebut. Fungsi
untuk menegaskan, menguatkan,
mengatur, mengubah atau menyelesaikan
satu perbuatan hukum
juga merupakan fungsi
dari perjanjian jenis ini.
Perjanjian bantuan
yang berfungsi menyiapkan
disebut juga perjanjian pendahuluan, misalnya
perjanjian pengikatan jual
beli yang berfungsi membuat dan
mengikatkan diri para
pihak pada perjanjian
pokoknya, yaitu perjanjian jual beli.
Perjanjian
jaminan, baik jaminan perorangan maupun kebendaan adalah contoh dari
perjanjian bantuan/tambahan yang
fungsinya memperkuat
perjanjian pokok yaitu
perjanjian kredit. Eksistensi
perjanjian jaminan sangat
tergantung pada perjanjian kredit. Jika perjanjian kredit tidak ada, maka perjanjian
jaminan juga tidak
ada. Keberadaan perjanjian
kredit sebagai perjanjian pokok
tidak tergantung pada
keberadaan perjanjian
jaminan.
7)
Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan
prestasinya.
Perjanjian menurut
ada atau tidaknya
kepastian pelaksanaan prestasinya didasarkan pada
syarat yang dapat
ditentukan atau tidak
ditentukan untuk berlakunya
perjanjian.
Perjanjian
jenis ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a.
Perjanjian dengan
imbalan/penggantian
Perjanjian yang
prestasinya tidak ada
hubungan dengan peristiwa kebetulan atau kejadian yang tidak
terduga. Misalnya perjanjian jual beli
yang prestasinya sudah
pasti, yaitu penyerahan
benda oleh penjual
dan pembayaran harga jual belinya oleh pembeli.
b.
Perjanjian
untung-untungan.
Perjanjian yang
prestasinya digantungkan pada
peristiwa yang belum tentu terjadi. Diatur dalam Pasal 1774
KUHPer yang menyatakan bahwa Persejuan
untung-untungan adalah suatu
perbuatan yang hasilnya mengenai untung
ruginya, baik bagi
semua pihak maupun
sebagian pihak, bergantung pada
suatu kejadian yang
belum tentu misalnya perjanjian pertanggungan.
Perbedaan antara
perjanjian untung-untungan dengan
perjanjian dengan perikatan
bersyarat menangguhkan adalah pada pengaitan prestasi pada hal yang belum tentu
terjadi atau pada hal yang sekalipun belum tentu terjadi tetap berada
dalam kontrol satu
pihak. Dalam perjanjian
untung-untungan, perikatan yang terjadi adalah murni dan tidak bersyarat
(menangguhkan), hanya kewajiban untuk melakukan prestasi bergantung pada
kejadian yang belum tentu.[26]
4.6
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN YANG SAH
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata telah disebutkan akibat hukum dari suatu perjanjian yang tercantum
dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHPerdata, adalah sebagai berikut :
a.
Berlaku sebagai Undang-undang
Pasal 1338 KUHPerdata yang bunyinya
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Dari pasal ini terdapat kata “Secara sah” berarti
harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah ditentukan
oleh hukum, dan kata “mengikat sebagai Undangundang” yang berarti mengikat para
pihak yang telah membuat perjanjian.
Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya adalah
bahwa setiap orang bebas untuk membuat suatu perjanjian, dan kebebasan ini
mengenai isi maupun bentuk-bentuk perjanjian dan apa yang mereka perjanjikan
atau sepakati bersama merupakan Undang-undang bagi mereka yang membuat dan
karenanya harus dipatuhi dan ditaatinya. Apabila ada yang melanggar perjanjian
yang mereka buat, maka dianggap sama dengan39 melanggar Undang-undang yang
mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Perjanjian ini dibatasi
oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian
harus mentaati hukum yang sifatnya memaksatersebut.
Persetujuan atau perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam hal perkara, hukuman bagi
pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-undang atas
permintaan pihak lainnya. Pihak yang melanggar perjanjian itu diharuskan
membayar ganti kerugian (pasal 1243 KUHPerdata), perjanjiannya dapat diputuskan
pasal 1266 KUHPerdata) membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan di muka
hakim (pasal 181 ayat (1) HIR).
b.
Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang telah dibuat secara
sah akan mengikat para pihak. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali
atau dibatalkan secara sepihak saja (pasal 1338 KUHPerdata) kecuali kesepakatan
antara keduanya. Apabila perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak berarti
perjanjian tersebut tidak mengikat. Jika ada salah satu pihak ingin menarik
kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
c.
Pelaksanaan dengan itikad baik
Didalam pasal 1338 KUHPerdata
mengatur bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik yang
artinya bahwa perjanjian menuntut kepatutan dan keadilan. Perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga segala sesuatu yang menurut
sifatnya perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan serta Undang-undang.
4.7
BAGIAN BAGIAN DALAM PERJANJIAN
Suatu perjanjian terdiri dari beberapa bagian, yaitu Bagian Essensialia, Bagian Naturalia, Bagian Aksidentalia. Beberapa
literatur menyebut pembagian ini sebagai unsur-unsur perjanjian yaitu Unsur
Essensialia, Unsur Naturalia, Unsur
Aksidentalia.
1.
Bagian Essensialia
Bagian essentialia merupakan bagian dari suatu perjanjian yang harus ada, sehingga apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang dimaksud oleh pihak-pihak.[27]
Bagian essentialia merupakan bagian dari suatu perjanjian yang harus ada, sehingga apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang dimaksud oleh pihak-pihak.[27]
Bagian
essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok sebagai
syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu
perjanjian.Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu ketentuan
tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting disebabkan hal inilah yang
membedakan antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya.
Bagian ini
juga merupakan bagian yang harus ada dalam perjanjian. Jika syarat ini tidak
ada, maka perjanjian tersebut cacat(tidak sempurna). Artinya tidak mengikat
para pihak. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa tidak ada syarat tentang
barang dan harga sewa, dan seterusnya.
Bagian Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini
digunakan untuk memberikan rumusan, definisi dan pengertian dari suatu
perjanjian. Jadi essensi atau isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang
mendefinisikan apa bentuk hakekat perjanjian tersebut. Misalnya essensi yang
terdapat dalam definisi perjanjian jual beli dengan perjanjian tukar menukar.
Maka dari definisi yang dimuat dalam definisi perjanjian tersebutlah yang membedakan
antara jual beli dan tukar menukar.
·
Jual beli (Pasal 1457) :
Suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang,
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
·
Tukar menukar (Pasal 1591)
Suatu perjanjian
dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu
barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lain.
Dari definsi tersebut diatas maka berdasarkan essensi atau
isi yang dikandung dari definisi diatas maka jelas terlihat bahwa jual beli
dibedakan dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Maka dari itu bagian
essensialia yang terkandung dalam suatu perjanjian menjadi pembeda antara
perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain.
Semua perjanjian bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki perbedaan unsur essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang lain.
Semua perjanjian bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki perbedaan unsur essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang lain.
2.
Bagian Naturalia
Bagian
naturalia adalah bagian dari suatu perjanjian yang menurut sifatnya dianggap
ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian naturalia
dapat kita temukan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersifat mengatur. Sehingga apabila para pihak tidak mengatur, maka ketentuan
peraturan perundang-undanganlah yang akan berlaku. Namun karena sifatnya tidak
memaksa, maka para pihak berhak untuk menyimpangi ketentuan tersebut.[28]
Bagian naturalia adalah syarat yang
biasa dicantumkan dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak ada, perjanjian
tidak akan cacat tapi tetap sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan kebiasaan. Oleh sebab itu jika
para pihak tidak mengatur syarat naturalia dalam perjanjian, maka yang berlaku
adalah yang diatur dalam perundang-undangan atau kebiasaan.
Naturalia adalah ketentuan
hukum umum, suatu syarat yang
biasanya dicantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini biasanya dijumpai dalam
perjanjian-perjanjian tertentu, dianggap ada kecuali dinyatakan sebaliknya. Merupakan unsur yang wajib
dimiliki oleh suatu perjanjian yang menyangkut suatu keadaan yang pasti ada
setelah diketahui unsur essensialianya. Jadi terlebih dahulu harus dirumuskan unsur essensialianya baru
kemudian dapat dirumuskan unsur naturalianya.
Misalnya;
·
jual beli unsur naturalianya adalah bahwa si penjual harus
bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan atau cacat-cacat yang dimiliki
oleh barang yang dijualnya.
·
membeli sebuah televisi baru. Jadi unsur essensialia adalah
usnur yang selayaknya atau sepatutnya sudah diketahui oleh masyarakat dan
dianggap suatu hal yang lazim atau lumrah.
·
dalam perjanjian sewa-menyewa, bila tidak diatur
syarat bahwa kalau menyewa memasang pompa listrik ia boleh mengambil pompa air
jika ia meninggalkan rumah setelah masa sewa berakhir.
3.
Bagian Aksidentalia
Bagian
aksidentalia adalah merupakan bagian-bagian yang bersifat khusus. Bagian
aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila para
pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam
akta. Kata-kata penutup yang berisi pernyataan bahwa merekalah yang membuat
pernyataan dalam akta tersebut beserta tanda tangannya. Dengan tanda tangan
berarti para pihak telah menyetujui atau mengikatkan dirinya dalam kontrak dan
akan melaksanakan kontrak yang telah dibuat.
Bagian aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular)
yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Accidentalia
artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan
para pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah tidak.
Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana prestasi dilakukan.
Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana prestasi dilakukan.
Menurut Herlie Budiono bagian aksidentalia adalah bagian dari perjanjian yang
merupakan ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.[29] Sedangkan menurut
Komariah bagian aksidentalia adalah unsur perjanjian yang ada jika diketahui
oleh para pihak.[30] Contoh bagian Aksidentalia
adalah mengenai jangka waktu pembayaran, pilihan domosili, pilihan hukum dan
cara penyerahan barang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan
Perikatan
yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak
yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari
undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang
bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka
bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh
mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah mereka berikan. Tali
perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi..
Terdapat
beberapa jenis perjanjian antara lain: Perjanjian Timbal Balik, Perjanjian
Cuma-Cuma, Perjanjian Atas Beban, Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama,
Perjanjian Obligatoir, Perjanjian Kebendaan, Perjanjian Konsensual, Perjanjian
Real, Perjanjian Liberatoir, Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan,
Perjanjian Publik dan Perjanjian Campuran
Di
dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengakibatkan
dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, 2011, ”HukumPerjanjian”, habibadjie. dosen. narotama. ac.id /files /2011/04 /Hukum
-Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Miru, Ahmad dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan; Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW,
Rajawali Pers, Jakarta.
Miru, Ahmad, 2007, Hukum
Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Subekti, 1984, Pokok Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.
Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.
[1] Subekti,
1987, Hukum Perjanjian, Intermassa,
Jakarta, hal.1.
[2]
Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum
Perikatan, Citra Aditya
Bandung, hal.78.
[3] Subekti,
1987, Hukum Perjanjian, Intermassa,
Jakarta, hal.1.
[4] Black,
Henry C., Black's Law Dictionary,
St.Paul:West Publishing, 1979, hal 291.
[5]
Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum
Perikatan, Citra Aditya
Bandung, hal.78.
[6]
Herlien Budiono, 2009,
Ajaran Umum Hukum
Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal.3.
[7]
Herlien Budiono, 2009, Ajaran
Umum Hukum Perjanjian
dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.5.
[8]
Sudikno, 2010, Penemuan Hukum,
Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta,, hal.7.
[9] Agus
Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas
Proporsional dalam Kontrak Komersil “Kencana, Jakarta, 2010, hal 25.
[10] Ahmadi
Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007, hal. 4.
[11] Sutan
Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di
Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal 110-111
[12] Sutan
Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di
Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal 117-118
[13]
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum
Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal.81.
[14]
Herlien Budiono, 2009, Ajaran
Umum Hukum Perjanjian
dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30-31.
[15] Gunawan
Widjaja,2007, Memahami Prinsip
Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal.281-282.
[16] Subekti,
Hukurn Pembuktian, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.
[17] Herlien
Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2011), hal 5.
[18] Subekti,
Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 1992, hal. 4.
[20] Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III tentang Hukum
Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996, hlm.98
[22] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 127
[23] Riduan Syahrani, Seluk
Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2004, hlm.209-210
[24] R. M.
Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan
Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10
[25]
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum
Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal.147-156.
[26]
Herlien Budiono, 2009,
Ajaran Umum Hukum
Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal.38.
[27] Herlien
Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Bandung:Citra Aditya, 2010, Hlm.67.
[28] Herlien
Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung:Citra Aditya, 2010, Hlm.70.
[29]
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum
Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung:Citra Aditya,
2010, Hlm.71.