Hukum Perjanjian


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Pada dasarnya perjanjian berawal dari suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negoisasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang dinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar.
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
Pada  umumnya  perjanjian  berawal  dari  perbedaan  kepentingan  yang  dicoba dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir  dan  selanjutnya  dibingkai  dengan  perangkat  hukum  sehingga  mengikat  para  pihak. Dalam  perjanjian,  pertanyaan  mengenai  sisi  kepastian  dan  keadilan  justru  akan  tercapai  apabila  perbedaan  yang  ada  di  antara  para  pihak  terakomodir  melalui mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan
Terdapat beberapa jenis perjanjian antara lain: Perjanjian Timbal Balik, Perjanjian Cuma-Cuma, Perjanjian Atas Beban, Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama, Perjanjian Obligatoir, Perjanjian Kebendaan, Perjanjian Konsensual, Perjanjian Real, Perjanjian Liberatoir, Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan, Perjanjian Publik.




BAB II
PEMBAHASAN 

2.1           PENGERTIAN PERJANJIAN
a.          KUHPerdata Pasal 1313
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.[1]
b.          Abdul Kadir dan Subekti
Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum.
Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.
Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUHPer mengandung kelemahan karena:[2]
a)     Hanya menyangkut sepihak saja.
Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak saling mengikatkan diri”, dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.
b)     Kata “perbuatan” termasuk di dalamnya konsensus.
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. Seharusnya digunakan kata persetujuan
c)     Pengertian perjanjian terlalu luas
Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUHPer adalah perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan, sehingga perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup perjanjian yang dimaksudkan.
d)     Tanpa menyebutkan tujuan.
Rumusan Pasal 1313 KUHPer tidak mencantumkan tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.
Sedangkan menurut Subekti istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.[3]
c.          Kamus Hukum Black Law Dictionary (Contract)
Di dalam  Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan  contract adalah  An agreement between  two  or  more  person  which  creates  an  obligation  to  do  or  not  to  do  particular thing.  Artinya,  kontrak  adalah  suatu  persetujuan  antara  dua  orang  atau  lebih,  di  mana menimbulkan  sebuah  kewajiban  untuk  melakukan  atau  tidak  melakukan  sesuatu  secara sebagian.[4]
Black’s law dictionary perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. Inti definisi yang tercantum dalam black’s Law Dictionary adalah bahwa kontrak dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.

2.2         UNSUR – UNSUR DARI PERJANJIAN
Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah  yang  dihadapi adalah  suatu  perjanjian  atau  bukan,  memiliki  akibat  hukum  atau  tidak.  Unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut;[5]
1)                Ada pihak-pihak.                                                                                                       
Pihak  yang  dimaksud  adalah  subyek  perjanjian  yang  paling  sedikit  terdiri dari dua  orang  atau  badan  hukum  dan  mempunyai  wewenang  untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.
2)         Ada persetujuan.
Persetujuan  dilakukan  antara  pihak-pihak  yang  bersifat  tetap  dan  bukan suatu perundingan.
3)         Ada tujuan yang hendak dicapai.
Hal  ini  dimaksudkan  bahwa  tujuan  dari  pihak  kehendaknya  tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
4)          Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Hal  itu  dimaksudkan  bahwa  prestasi  merupakan  kewajiban  yang  harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5)         Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Hal  ini  berarti  bahwa  perjanjian  bisa  dituangkan  secara  lisan  atau  tertulis. Hal  ini  sesuai  ketentuan  undang-undang  yang  menyebutkan  bahwa  hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
6)         Ada syarat-syarat tertentu
Syarat  menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.
Menurut  Herlien  Budiono,  perjanjian  yang  dirumuskan  dalam  Pasal  1313 KUHPer adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi, mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubungan-hubungan hukum di antara para pihak, yang  membuat  perjanjian  di bidang harta kekayaan atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan pihak  lainnya  berhak  menuntut  pelaksanaan  prestasi  tersebut,  atau  demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik.[6]
Berdasarkan  pendapat  tersebut  maka  unsur–unsur  perjanjian  menurut  Herlien Budiono terdiri atas;
1)           Kata sepakat dari dua pihak;
2)         Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak;
3)         Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;
4)          Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik;
5)         Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]

2.3         ASAS-ASAS PERJANJIAN
Sebelum  membahas  mengenai  asas-asas  perjanjian,  maka  terlebih dahulu  dikemukakan pengertian tentang asas berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana.  Beberapa  sarjana  mencoba  menguraikan  arti  dan  pengertian  dari  asas  yang  dimaksud. Sudikno berpendapat bahwa.[8]
Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit,  asas hukum merupakan pikiran  dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan  perundang-undangan  dan  putusan  hakim  yang  merupakan  hukum positif  dan  dapat  diketemukan  dengan  mencari  sifat-sifat  atau  ciri-ciri  yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Asas  hukum  berfungsi  sebagai  pembangun  sistem  sebagaimana  diuraikan oleh Niewenhuis: “Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem karena asas-asas itu bukan hanya  mempengaruhi  hukum  positif,  tetapi  juga  di  dalam  banyak  keadaan menciptakan suatu sistem.  Jadi suatu sistem tidak  akan ada tanpa adanya asa -sasas.  Lebih  lanjut  asas-asas itu  sekaligus  membentuk  sistem  “check  and balance”,  artinya  asas-asas  itu  akan  saling  tarik  menarik  menuju  proses keseimbangan.”[9]
Asas hukum juga merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan  latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang  terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan  hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang  umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum  dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan  atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit  tersebut.
Asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas  kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di  samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.
a.          Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting  dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum  biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian  yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang  membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata  yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang  untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,  sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:[10]
·      bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
·      bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
·      bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
·      bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
·      kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan  perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan  orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini,  asas kebebasan berkontrak menurut hukum  perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup;[11]
·      Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
·      Kebebasan  untuk  memilih  pihak  dengan  siapa  ia  ingin  membuat perjanjian.
·      Kebebasan  untuk  menentukan  atau  memilih  kausa  dari  perjanjian  yang akan dibuatnya.
·      Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
·      Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
·      Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).
Asas kebebasan berkontrak,  tidak berdiri sendiri,  berada dalam satu sistem utuh dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya:[12]
·      Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian.
·      Pasal 1335  KUHPer  yang melarang dibuatnya kontrak tanpa kausa  atau dibuat berdasarkan kausa palsu/terlarang.
·      Pasal  1337  KUHPer  suatu  sebab  adalah  terlarang  apabila  dilarang  oleh undandg-undang  atau  apabila  berlawanan  dengan  kesusilaan  baik  atau ketertiban umum.
·      Kalimat  ketiga  Pasal  1338  KUHPer,  perjanjian  dilaksanakan  dengan itikad baik.
·      Pasal 1339 KUHPer, terikatnya perjanjian pada sifat, kepatutan, kebiasan dan undang-undang.
·         Pasal  1347  KUHPer  mengenai  hal-hal  yang  menurut  kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak
b.          Asas Konsensualisme              
Asas  konsensualisme  berasal  dari  kata  latin  ”consensus”  yang  artinya  sepakat.  Para  pihak  sepakat  atau  setuju  mengenai  prestasi  yang  diperjanjikan. Apabila dikaitkan dengan kalimat pertama Pasal 1338  KUHPer yang menyatakan bahwa  ”Semua  persetujuan  yang  dibuat  sesuai  dengan  undang-undang  berlaku sebagai  undang-undang  bagi  mereka  yang   membuatnya”.  Kata  “sesuai  dengan undang-undang” berarti bahwa pembuatan perjanjian  yang sesuai dengan  undangundang/hukum adalah mengikat. Sesuai dengan undang-undang berarti memenuhi keempat syarat yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPer.
Asas  konsensual  merupakan inti  dari suatu perjanjian, namun  demikian  pada  situasi  tertentu  terdapat  perjanjian  yang  tidak  mencerminkan kesepakatan  yang sesungguhnya  disebabkan karena  adanya  cacat kehendak  karena  kesesatan  (dwaling),  penipuan  (bedrog)  atau  paksaan  (dwang) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.
Menurut  Muhammad  Syaifuddin  bahwa  asas  konsensualisme  tidak  hanya terdapat pada periode pra perjanjian,  namun juga terdapat pada pelaksanaan dan pemutusan  perjanjian.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  apa  yang  terkandung  dalam kalimat  kedua  Pasal  1338  KUHPer  yang    menyatakan  bahwa  “Persetujuan  itu tidak  dapat  ditarik  kembali  selain  dengan  kesepakatan  kedua  belah  pihak,  atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang.undang.”
Asas konsensualisme  ini  tidak  harus  ada  pada  saat  pembuatan  perjanjian  (vide  Pasal 1320  KUHPer),  tetapi  juga  harus  ada  pada  saat  pelaksanaan  perjanjian,   bahkan
harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian.[13]
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau  dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang  menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena  adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang  dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta  Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus)  di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga  dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini  dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja  dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan  perjanjian konsensuil.
c.          Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah  “pacta  sunt  servada”  adalah  merupakan  suatu  perjanjian  yang  telah dibuat  secara  sah  oleh  para  pihak,  mengikat  para  pihak  secara  penuh  sesuai dengan  isi  perjanjian.  Mengikat  secara  penuh  artinya  kekuatannya  sama  dengan undang-undang,  sehingga  apabila  salah  satu  pihak  tidak  memenuhi  kewajiban yang  telah  disepakati  dan  dituangkan  dalam  perjanjian,  maka  oleh  hukum disediakan sarana ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1)           Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
2)         Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Menurut  Herlien  Budiono,[14] asas  ini  melandasi  pernyataan  bahwa  suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat  untuk  melaksanakan  kesepakatan  kontraktual.  Suatu  kesepakatan  harus dipenuhi  dianggap  sudah  terberi  dan  tidak  dipertanyakan  kembali.  Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.
Gunawan  Widjaja  memberikan  pendapatnya  berkaitan  dengan  pelaksanaan dari asas pacta sunt servada yang diuraikan sebagai berikut: “Pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian berkaitan dengan asas ini  hanya  dapat  dilakukan  oleh  salah  satu  atau  lebih  pihak  dalam  perjanjian terhadap pihak  pihak  lainnya  dalam  perjanjian,  artinya  setiap  pihak,  sebagai kreditor  yang  tidak  memperoleh  pelaksanaan  kewajiban  oleh  debitor,  dapat atau  berhak  memaksakan  pelaksanaannya  dengan  meminta  bantuan  pada pejabat  negara  yang  berwenang  yang  akan  memutuskan  dan  menentukan sampai  seberapa  jauh  suatu  prestasi  yang  telah  gagal,  tidak  sepenuhnya  atautidak  sama  sekali  dilaksanakan  atau  dilaksanakan  tidak  sesuai  dengan  yang diperjanjikan  masih  dapat  dilaksanakan,  semuanya  dengan  jaminan  harta kekayaan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPer.”[15]
d.          Asas Itikad Baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Dan menyatakan bahwa  ”Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik meliputi  segala  tahapan  hubungan  perjanjian,  baik  dari  fase  pra  perjanjian,  fase perjanjian, dan fase pasca perjanjian.
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).[16]
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang  pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang  adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat  mengenai asal-usulnya.
Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3)  KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan  mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan  pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggaran oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik diartikan sebagai:
·      Kejujuran pada waktu membuat perjanjian;
·      Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, para pihak dianggap bertikad baik.
·      Sebagai kepatutuan dalam tahap pelaksanaan.
e.          Asas Kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat  pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat  mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada  untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya  berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa  rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.  Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak  dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

2.4         SYARAT SAH PERJANJIAN
A.          Syarat Sah Perjanjian yang Umum
Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat umum,berdasar ketentuan hukum yang berlaku Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat komulatif (keempat-empatnya harus dipenuhi) yang terdapat dalam Pasal tersebut, yaitu:
a.          Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Yang mana sepakat mengandung arti persesuaian kehendak di antara pihak-pihak yang mengikatkan  diri  ke  dalam  perjanjian.  Menurut  Herlien Budiono,  sepakat  artinya  “perjanjian  hanya  dapat  timbul  dengan  kerjasama  dari dua  orang  atau  lebih  atau  perjanian  “dibangun”  oleh  perbuatan  dari  beberapa orang  sehingga  perjanjian  digolongkan  sebagai  perbuatan hukum  berganda.[17]
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.[18] Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur
a)          Paksaan (dwang, duress)
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan paksaan ialah:  “kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi.”
Sedangkan menurut Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Paksaan terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu dan paksaan itu mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga
b)          Penipuan (bedrog, fraud)
Yang dimaksud dengan penipuan dalam suatu kontrak adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak lain dalam kontrak tersebut telah menandatangani kontrak tersebut, tipu muslihat yang dimaksud di sini haruslah bersifat substansial.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa satu macam pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan.
Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat lainnya. Dan pihak yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk pembatalan perjanjian.
c)          Kesilapan/ kekeliruan (dwaling, mistake)
Kekeliruan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang dikiranya sebagai penyanyi tersohor, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kesilapan mengenai barang terjadi misalnya jika orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian hanya turunan saja.
Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, dan sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Seseorang dikatakan telah memberikan sepakatnya (toestemming), kalau orang memang menghendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.[19]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada empat teori tentang saat terjadinya sepakat yaitu:[20]
a.          Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat dinyatakannya kehendak pihak penerima.
b.          Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c.          Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
d.          Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Kesepakatan dalam hal ini harus timbul tanpa ada unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan. Berikut ini dasar hukumnya:
1)           Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan:
“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pasal ini digunakan sebagai dasar hukum dari batalnya perjanjian karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Perjanjian batal dalam KUHPerdata berarti dua hal, yaitu perjanjian batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
2)         Pasal 1322 KUHPerdata menyatakan:
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.
3)         Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
4)          Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupasehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”
b.          Kecakapan bertindak para pihak untuk membuat perjanjian
Kecakapan yaitu bahwa para pihak yang mengadakan  perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. 
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau  mengadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
·      Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
Ø  Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
Ø  Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
·      Mereka yang berada di bawah pengampuan.
·      Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
·      Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Seseorang  adalah cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat hukum yang sempurna.[21] Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang  dapat dibedakan ke dalam:[22]
1)           Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak  dalam hukum.
2)         Kewenangan  untuk  bertindak  selaku  kuasa  pihak  lain,  yangdalam hal  ini  tunduk 
pada  ketentuan  yang  diatur dalam  Bab XIV KUHPerdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.
3)         Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
Syarat sahnya perjanjian yang kedua ini sama dengan syarat kesepakatan para pihak, termasuk dalam syarat subjektif. Tidak terpenuhinya syarat kecakapan bertindak ini memiliki akibat yang sama dengan tidak terpenuhinya syarat kesepakatan dari para pihak, yang berarti berakibat perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
c.    Ada suatu hal tertentu (objek perjanjian)
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat  (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
Hal  tertentu  memiliki  juga mempunyai arti  sebagai  obyek  perjanjian/pokok  perikatan/ prestasi  atau  kadang  juga  diartikan  sebagai  pokok  prestasi.  Suatu  hal  tertentu adalah apa  yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa  yang menjadi  hak dari kreditor. Menurut Asser-Rutten sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono bahwa “suatu hal tertentu sebagai obyek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.”
Tujuan  dari  perjanjian  adalah  untuk  timbul,  berubah  atau  berakhirnya  suatu perikatan. Prestasi yang dimaksud bisa berupa tindakan yang mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kewajiban  tersebut  harus  dapat  ditentukan.  Ketentuan  Pasal  1332  KUHPer menyebutkan  “hanya  barang  yang  dapat  diperdagangkan  saja  dapat  menjadi pokok  persetujuan.”  Arti  dari  ketentuan  ini  bahwa  barang  yang  dapat  dijadikan sebagai  obyek  perjanjian  adalah  dapat  dinilai  dengan  uang  atau  memiliki  nilai ekonomis,  sehingga  jika  terjadi  perselisihan  dapat  dengan  mudah  ditentukan nilainya.
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
Rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan untuk sahnya perjanjian memerlukan syarat, “suatu hal tertentu”.
Riduan Syahrani memberikan keterangan mengenai syarat ini sebagai berikut:[23]
“Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.”
Suatu hal tertentu yang dimaksud adalah harus ada objek perjanjian yang jelas. Objek yang diatur dalam perjanjian harus jelas terperinci atau setidaknya dapat dipastikan. Jika objek itu berupa suatu barang, maka barang itu setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Objek perjanjian yang jelas dapat memberikan jaminan kepada para pihak yang membuat perjanjian dan mencegah perjanjian yang fiktif.
Selain objeknya harus jelas, suatu hal tertentu di sini harus pula:
1)           Benda yang menjadi objek perjanjian harus benda yang dapat diperdagangkan;
2)         Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidak dapat dijadikan
objek perjanjian;
3)         Dapat berupa barang yang sekarang ada atau yang nanti akan ada.
Syarat ini termasuk dalam kategori syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat objektif ini mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum.
d.    Adanya suatu sebab yang halal
Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Kententuan Pasal 1335 KUHPer menyatakan bahwa “Suatu persetujuan  tanpa  sebab  atau  dibuat  berdasarkan  suatu  sebab  yang  palsu  atau terlarang,  tidak  mempunyai  kekuatan”.  Arti  dari  pasal  ini  adalah  perjanjian  itu menjadi, batal demi hukum.
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab yang diperbolehkan atau halal berarti kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian, atau suatu sebab yang halal ialah setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
1)           tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan;
2)         tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
3)         tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
Kata  “ketertiban  umum”  mengacu  pada  asas-asas  pokok  fundamental  dari tatanan  masyarakat.  Perbedaan  antara  nilai  kesusilaan  dengan  ketertiban  umum, dilihat  dari  titik  tolak  penilaiannya.  Titik  tolak  nilai  kesusilaan  adalah  pada hubungan intern perorangan, sedangkan pada nilai ketertiban umum yang menjadi titik tolak penilaiannya adalah elemen kekuasaan.
Yang dimaksud dengan kausa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit.
Berikut ini adalah ketentuan hukum dalam KUHPerdata yang mengatur mengenai sebab yang halal:
1)           Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”
Tidak mempunyai kekuatan hukum karena jika perjanjian dibuat tanpa tujuan yang jelas, tidak mungkin dapat dilindungi oleh hukum. Agar memiliki kekuatan hukum, perjanjian haruslah memiliki tujuan yang jelas, sehingga dapat ditentukan tujuan tersebut sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan, kesusilaan, agama, atau tidak. 
2)         Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada satu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain yang daripada yang dinyatakan itu, perjanjiannya adalah sah.”
3)         Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”
                Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi dengan syarat, yaitu:
·      pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan.
·      syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, yang artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakati tersebut, sedangkan bila tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi hukum.
B.       Syarat Sah Perjanjian yang Khusus
Sedangkan syarat sah yang khusus perjanjian antara lain menurut Munir Fuady adalah:
a.        Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat khusus agar perjanjian itu dapat mulai berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat tertulis bagi suatu perjanjian adalah:
·         Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.
·         Dipersyaratkan untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
·         Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu.
·         Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.
b.          Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu
Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, untuk perjanjian-perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis tersebut harus dibuat oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal), misalnya:
·         Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung bendanya.
·         Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pertanahan.
c.          Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang
Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata-mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut, sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:
·         Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.
·         Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan.

Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1.           Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.     Objek / Perihal tertentu
b.     Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2.          Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.     Adanya kesepakatan dan kehendak
b.     Wenang berbuat
3.          Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a.        Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b.        Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c.        Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d.        Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4.          Syarat sah yang khusus
a.        Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b.        Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c.        Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d.        Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu

4.5         JENIS-JENIS PERJANJIAN
Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:
1.            Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2.          Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuanketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.[24]
3.          Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:
a.     Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang
Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.
b.     Perikatan untuk berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.
c.     Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.
Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau
diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,
1)           Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:
2)         Perikatan yang digantungkan pada  suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.
3)         Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.
4)          Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
5)         Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.
Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.
6)         Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.            Perjanjian timbal balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2.          Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3.          Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam
Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4.          Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5.          Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6.          Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.
a.     perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;
b.     perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c.     perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.
d.     Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak  sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham, yaitu:
·      Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).
·      Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
·      Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).
Sedangkan Muhammad Syaifuddin membagi bentuk perjanjian berdasarkan beberapa hal yakni;[25]
1)           Berdasarkan proses terjadinya/ terbentuknya.
Perjanjian  menurut  proses  terjadinya  atau  terbentuknya   dapat    dibedakan menjadi tiga jenis yakni:
a.     Perjanjian Konsensual
Perjanjian  yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat antara pihak yang membuatnya. Misalnya, perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer terjadi pada saat timbulnya kesepakatan mengenai barang dan harganya.
b.     Perjanjian Riil.
Perjanjian  yang selain terdapat kata  sepakat, juga harus disertai dengan suatu penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut Pasal  1741  KUHPer  dan  perjanjian  pinjam  meminjam  menurut  Pasal 1754 KUHPer.
c.     Perjanjian Formil.
Perjanjian  yang  selain  terdapat  kata  sepakat,  tapi  juga  memiliki  bentuk yang ditetapkan oleh umdang-undang. Misalnya, perjanjian fidusia yang harus  dibuat  dengan  bentuk  akta  notaris  berdasarkan  Pasal  5  ayat  (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.78
2)         Berdasarkan sifat dan akibat hukumnya.
Perjanjian  berdasarkan  sifat  dan  akibat  hukum  yang  ditimbulkannya  terdiri dari lima jenis yaitu;
a.     Perjanjian di bidang hukum keluarga.
Perkawinan yang merupakan perjanjian sui generis, yang didasarkan atas persetujuan  kedua  calon  mempelai  yang  mengandung  beberapa  aspek, yaitu  persetujuan  untuk  menikah  adalah  perbuatan  hukum,  hubungan hukum yang timbul di antara para pihak, peristiwa hukum yang hampir seluruhnya  diatur  dalam  undang-undang  dan  bersifat  memaksa,  dan terikatnya para pihak selama dalam ikatan perkawinan.
b.     Perjanjian kebendaan.
Perjanjian  yang  dibuat  dengan  mengindahkan  peraturan  perundang-undangan, timbul  karena  kesepakatan  antara  dua  belah  pihak  dan ditujukan  untuk  menimbulkan,  beralih,  berubah,  berakhirnya  suatu  hak kebendaan,  khususnya  benda  tetap,  dan  dibuat  dalam  bentuk  yang ditetapkan oleh undang-undang.
c.     Perjanjian obligatoir.
Perjanjian  yang  timbul  karena  kesepakatan  dari  dua  belah  pihak  atau lebih  dengan  tujuan  timbulnya  suatu  perikatan  untuk  kepentingan  yang satu atas beban yang lain atau timbal balik.
d.     Perjanjian mengenai pembuktian.
Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari para pihak dengan tujuan membatasi  ketentuan  mengenai  cara  atau  alat  pembuktian  atau  menghindari  pengajuan  perlawanan  pembuktian,  sepanjang  tidak bertentangan  dengan  undang-undang,  ketertiban  umum  dan  kesusilaan yang  baik.  Para  pihak   dapat  menyepakati  suatu  klausula  dalam perjanjian  bahwa  mereka  hanya  menggunakan  satu  alat  bukti  atau menyerahkan beban pembuktian pada salah satu pihak, apabila suatu saat perlu adanya  pembuktian.
e.     Perjanjian bersifat kepublikan.
Perjanjian yang timbul dari kesepakatan antara para pihak. yang satu atau kedua belah pihak adalah badan hukum publik yang berwenang membuat perjanjian  di  bidang  hukum  privat  dan  melaksanakan  semua  hak  dan kewenangan yang dimilikinya, kecuali dilarang oleh undang-undang.
3)         Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya.
Perjanjian menurut hak yang kewajiban dari para pihak yang membuatnya terdiri dari dua jenis yaitu;
a.     Perjanjian timbal balik.
Perjanjian  yang  dibuat  dengan  meletakkan  hak  dan  kewajiban  kepada kedua  pihak  yang  membuat  perjanjian.  Misalnya  perjanjian  jual  beli Pasal 1457 KUHPer dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPer.
Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban adadi kedua belah  pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat  pembayaran  dan  pihak  pembeli  berkewajiban  membayar  dan hak menerima barangnya.
b.     Perjanjian sepihak.
Perjanjian  yang  dibuat  dengan  meletakkan  kewajiban  pada  salah  satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada  pada  orang  yang  menghibahkan  yaitu  memberikan  barang  yang dihibahkan  sedangkan  penerima  hibah  tidak  mempunyai  kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

4)          Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya.
Perjanjian  berdasarkan  penamaan  dan  sifat  pengaturan  hukumnya  terdiri dari dua jenis yaitu;
a.     Perjanjian bernama (benoemde contract atau nominaatcontract).
Perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus dalam KUHPer Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, perjanjian  jual  beli,  perjanjian  sewa-menyewa,  hibah,  perjanjian  tukar-menukar, perjanjian  persekutuan  perdata,  perjanjian  untuk  melakukan  pekerjaan, perjanjian  tentang  perkumpulan,  perjanjian  penitipan  barang,  perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian  penanggungan  utang,  perjanjian  bunga  tetap,  perjanjian untung-untungan dan perjanjian perdamaian.
b.     Perjanjian tidak bernama (innominaat contract).
Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer tetapi timbul dan  berkembang  di  masyarakat  berdasarkan  asas  kebebasan  berkontrak menurut Pasal 1338 KUHPer. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama  yang  disesuaikan  dengan  kebutuhan  pihak-pihak  yang membuatnya.  Misalnya  perjanjian  pembiayaan  konsumen,  perjanjian sewa guna usaha, perjanjian waralaba, perjanjian lisensi dan lain-lain.Perjanjian  tidak  bernama  berdasarkan  aspek  pengaturan  hukumnya dibedakan menjadi tiga jenis yaitu;
·      Perjanjian  tidak  bernama  yang  diatur  secara  khusus  dan  dituangkan dalam bentuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya  perjanjian  production  sharing  yang  diatur  dalam  UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
·      Perjanjian  tidak  bernama  yang  diatur  dalam  peraturan  pemerintah, misalnya perjanjian waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.
·      Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undangundang yang mengaturnya misalnya kontrak rahim (surrogate mother)
5)         Perjanjian  menurut  keuntungan  satu  atau  lebih  pihak  dan  adanya  prestasi pada satu atau lebih pihak lainnya.
Perjanjian jenis ini  didasarkan pada adanya prestasi atau timbulnya keuntungan, perjanjian ini dibedakan menjadi dua yaitu;
a.     Perjanjian dengan cuma-cuma.
Perjanjian  berdasarkan  Pasal  1314  kalimat  pertama   KUHPer  yang menyatakan  “suatu  persetujuan  adalah  mana  pihak  yang  satu memberikan  keuntungan  kepada  pihak  yang  lain  tanpa  menerima  suatu manfaat  bagi  dirinya”.  Contoh  perjanjian  jenis  ini  adalah  perjanjian pinjam  pakai,  hibah,  perjanjian  pinjam  meminjam  tanpa  bunga,  dan perjanjian penitipan barang tanpa biaya.
b.     Perjanjian atas beban.
Perjanjian  atas  beban  berdasarkan  Pasal  1314   kalimat  kedua  KUHPer yaitu  “Suatu  persetujuan  yang  mewajibkan  masing-masing  pihak memberikan  sesuatu,  berbuat  sesuatu,  atau  tidak  berbuat  sesuatu.” Contoh  perjanjian  jenis  ini  adalah  perjanjian  jual-beli,  perjanjian  sewa menyewa, perjanjian pinjam meminjam dengan bunga.
6)         Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya.
Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya berarti jenis-jenis perjanjian yang eksistensinya bersifat mandiri atau tidak mandiri dan fungsinya pokok atau tambahan/bantuan.  Perjanjian  menurut  kemandirian  dan  fungsinya  dibedakan menjadi dua jenis yaitu;
a.     Perjanjian pokok.
Perjanjian  yang  eksistensi  bersifat  mandiri  atau  mempunyai  eksistensi mandiri  bagi  perjanjian  itu  sendiri.  Contohnya,  perjanjian  kredit  yang sifatnya  mandiri,  yang  eksistensi  tidak  tergantung  pada  perjanjian lainnya. Perjanjian kredit sebagian dikuasai atau mirip dengan perjanjian pinjam  meminjam  uang  yang  diatur  dalam  Pasal  1754  KUHPer  dan pasal-pasal  lainnya  yang  terkait  dan  relevan  dalam  KUHPer,  sebagian lainnya tunduk pada undang-undang yang mengatur perbankan.55
b.     Perjanjian bantuan/tambahan.
Perjanjian  yang  eksistensinya  tidak  mandiri  atau  perjanjian  yang  tidak mempunyai  kemandirian  untuk  eksistensinya  perjanjian  itu  sendiri, melainkan  tergantung  pada  perjanjian  pokoknya,  yang  fungsinya menyiapkan  para  pihak  untuk  mengikatkan  diri  pada  perjanjian  pokok tersebut.  Fungsi  untuk  menegaskan,  menguatkan,  mengatur,  mengubah atau  menyelesaikan  satu  perbuatan  hukum  juga  merupakan  fungsi  dari perjanjian jenis ini.

Perjanjian  bantuan  yang  berfungsi  menyiapkan  disebut  juga  perjanjian pendahuluan,  misalnya  perjanjian  pengikatan  jual  beli  yang  berfungsi membuat  dan  mengikatkan  diri  para  pihak  pada  perjanjian  pokoknya, yaitu perjanjian jual beli.
Perjanjian jaminan, baik jaminan perorangan maupun kebendaan adalah contoh  dari  perjanjian  bantuan/tambahan  yang  fungsinya  memperkuat perjanjian  pokok  yaitu  perjanjian  kredit.  Eksistensi  perjanjian  jaminan sangat tergantung pada perjanjian kredit. Jika perjanjian kredit tidak ada, maka  perjanjian  jaminan  juga  tidak  ada.  Keberadaan  perjanjian  kredit sebagai  perjanjian  pokok  tidak  tergantung  pada  keberadaan  perjanjian
jaminan.
7)          Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya.
Perjanjian  menurut  ada  atau  tidaknya  kepastian  pelaksanaan  prestasinya didasarkan  pada  syarat  yang  dapat  ditentukan  atau  tidak  ditentukan  untuk berlakunya perjanjian.
Perjanjian jenis ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a.     Perjanjian dengan imbalan/penggantian
Perjanjian  yang  prestasinya  tidak  ada  hubungan  dengan  peristiwa kebetulan atau kejadian yang tidak terduga. Misalnya  perjanjian jual beli yang  prestasinya  sudah  pasti,  yaitu  penyerahan  benda  oleh  penjual  dan pembayaran harga jual belinya oleh pembeli.
b.     Perjanjian untung-untungan.
Perjanjian  yang  prestasinya  digantungkan  pada  peristiwa  yang  belum tentu terjadi. Diatur dalam Pasal 1774 KUHPer yang menyatakan bahwa Persejuan  untung-untungan  adalah  suatu  perbuatan  yang  hasilnya mengenai  untung  ruginya,  baik  bagi  semua  pihak  maupun  sebagian pihak,  bergantung  pada  suatu  kejadian  yang  belum  tentu  misalnya perjanjian pertanggungan.

Perbedaan  antara  perjanjian  untung-untungan  dengan  perjanjian  dengan perikatan bersyarat menangguhkan adalah pada pengaitan prestasi pada hal yang belum tentu terjadi atau pada hal yang sekalipun belum tentu terjadi tetap berada dalam  kontrol  satu  pihak.  Dalam  perjanjian  untung-untungan,  perikatan  yang terjadi adalah murni dan tidak bersyarat (menangguhkan), hanya kewajiban untuk melakukan prestasi bergantung pada kejadian yang belum tentu.[26]

4.6         AKIBAT HUKUM PERJANJIAN YANG SAH
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah disebutkan akibat hukum dari suatu perjanjian yang tercantum dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHPerdata, adalah sebagai berikut :
a.          Berlaku sebagai Undang-undang
Pasal 1338 KUHPerdata yang bunyinya “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari pasal ini terdapat kata “Secara sah” berarti harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah ditentukan oleh hukum, dan kata “mengikat sebagai Undangundang” yang berarti mengikat para pihak yang telah membuat perjanjian.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya adalah bahwa setiap orang bebas untuk membuat suatu perjanjian, dan kebebasan ini mengenai isi maupun bentuk-bentuk perjanjian dan apa yang mereka perjanjikan atau sepakati bersama merupakan Undang-undang bagi mereka yang membuat dan karenanya harus dipatuhi dan ditaatinya. Apabila ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, maka dianggap sama dengan39 melanggar Undang-undang yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Perjanjian ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati hukum yang sifatnya memaksatersebut.
Persetujuan atau perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam hal perkara, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-undang atas permintaan pihak lainnya. Pihak yang melanggar perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (pasal 1243 KUHPerdata), perjanjiannya dapat diputuskan pasal 1266 KUHPerdata) membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat (1) HIR).
b.          Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang telah dibuat secara sah akan mengikat para pihak. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja (pasal 1338 KUHPerdata) kecuali kesepakatan antara keduanya. Apabila perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak berarti perjanjian tersebut tidak mengikat. Jika ada salah satu pihak ingin menarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
c.          Pelaksanaan dengan itikad baik
Didalam pasal 1338 KUHPerdata mengatur bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik yang artinya bahwa perjanjian menuntut kepatutan dan keadilan. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas  dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan serta Undang-undang.

4.7         BAGIAN BAGIAN DALAM PERJANJIAN
Suatu perjanjian terdiri dari beberapa bagian, yaitu Bagian Essensialia, Bagian  Naturalia, Bagian Aksidentalia. Beberapa literatur menyebut pembagian ini sebagai unsur-unsur perjanjian yaitu Unsur Essensialia, Unsur Naturalia, Unsur Aksidentalia.
1.                Bagian Essensialia                                                                                                                                                  
Bagian essentialia merupakan bagian dari suatu perjanjian yang harus ada, sehingga apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang dimaksud oleh pihak-pihak.[27]
Bagian essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu perjanjian.Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu ketentuan tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting disebabkan hal inilah yang membedakan antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya.
Bagian ini juga merupakan bagian yang harus ada dalam perjanjian. Jika syarat ini tidak ada, maka perjanjian tersebut cacat(tidak sempurna). Artinya tidak mengikat para pihak. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa tidak ada syarat tentang barang dan harga sewa, dan seterusnya.
Bagian Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini digunakan untuk memberikan rumusan, definisi dan pengertian dari suatu perjanjian. Jadi essensi atau isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa bentuk hakekat perjanjian tersebut. Misalnya essensi yang terdapat dalam definisi perjanjian jual beli dengan perjanjian tukar menukar. Maka dari definisi yang dimuat dalam definisi perjanjian tersebutlah yang membedakan antara jual beli dan tukar menukar.
·      Jual beli (Pasal 1457) :
Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
·      Tukar menukar (Pasal 1591)
Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lain.
Dari definsi tersebut diatas maka berdasarkan essensi atau isi yang dikandung dari definisi diatas maka jelas terlihat bahwa jual beli dibedakan dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Maka dari itu bagian essensialia yang terkandung dalam suatu perjanjian menjadi pembeda antara perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain.
Semua perjanjian bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki perbedaan unsur essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang lain.
2.          Bagian  Naturalia
Bagian naturalia adalah bagian dari suatu perjanjian yang menurut sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian naturalia dapat kita temukan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur. Sehingga apabila para pihak tidak mengatur, maka ketentuan peraturan perundang-undanganlah yang akan berlaku. Namun karena sifatnya tidak memaksa, maka para pihak berhak untuk menyimpangi ketentuan tersebut.[28]
Bagian  naturalia adalah syarat yang biasa dicantumkan dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak ada, perjanjian tidak akan cacat tapi tetap sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan kebiasaan. Oleh sebab itu jika para pihak tidak mengatur syarat naturalia dalam perjanjian, maka yang berlaku adalah yang diatur dalam perundang-undangan atau kebiasaan.
Naturalia adalah ketentuan  hukum  umum, suatu syarat yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau  hal ini biasanya dijumpai dalam perjanjian-perjanjian tertentu, dianggap ada kecuali dinyatakan sebaliknya. Merupakan unsur yang wajib dimiliki oleh suatu perjanjian yang menyangkut suatu keadaan yang pasti ada setelah diketahui unsur essensialianya. Jadi terlebih dahulu  harus dirumuskan unsur essensialianya baru kemudian dapat dirumuskan unsur naturalianya.
Misalnya;
·      jual beli unsur naturalianya adalah bahwa si penjual harus bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan atau cacat-cacat yang dimiliki oleh barang yang dijualnya.
·      membeli sebuah televisi baru. Jadi unsur essensialia adalah usnur yang selayaknya atau sepatutnya sudah diketahui oleh masyarakat dan dianggap suatu hal yang lazim atau lumrah.
·      dalam  perjanjian sewa-menyewa, bila tidak diatur syarat bahwa kalau menyewa memasang pompa listrik ia boleh mengambil pompa air jika ia meninggalkan rumah setelah masa sewa berakhir.
3.          Bagian Aksidentalia
Bagian aksidentalia adalah merupakan bagian-bagian yang bersifat khusus. Bagian aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila para pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam akta. Kata-kata penutup yang berisi pernyataan bahwa merekalah yang membuat pernyataan dalam akta tersebut beserta tanda tangannya. Dengan tanda tangan berarti para pihak telah menyetujui atau mengikatkan dirinya dalam kontrak dan akan melaksanakan kontrak yang telah dibuat.
Bagian aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular) yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Accidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah tidak.
Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana prestasi dilakukan.
Menurut Herlie Budiono  bagian aksidentalia adalah bagian dari perjanjian yang merupakan ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.[29] Sedangkan menurut Komariah bagian aksidentalia adalah unsur perjanjian yang ada jika diketahui oleh para pihak.[30] Contoh bagian Aksidentalia adalah mengenai jangka waktu pembayaran, pilihan domosili, pilihan hukum dan cara penyerahan barang.


BAB III
PENUTUP
  
3.1    Kesimpulan
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi..
Terdapat beberapa jenis perjanjian antara lain: Perjanjian Timbal Balik, Perjanjian Cuma-Cuma, Perjanjian Atas Beban, Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama, Perjanjian Obligatoir, Perjanjian Kebendaan, Perjanjian Konsensual, Perjanjian Real, Perjanjian Liberatoir, Perjanjian Pembuktian, Perjanjian Untung-untungan, Perjanjian Publik dan Perjanjian Campuran
 Di dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.         Sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya
2.       Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.       Suatu hal tertentu
4.        Suatu sebab yang halal

DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Habib, 2011, ”HukumPerjanjian”, habibadjie. dosen. narotama. ac.id /files /2011/04 /Hukum -Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Miru, Ahmad dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan; Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta.
Miru, Ahmad, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, 1984, Pokok Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.
Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.





[1] Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hal.1.
[2] Abdulkadir  Muhamad,  1992,  Hukum  Perikatan,  Citra  Aditya  Bandung, hal.78.
[3] Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hal.1.
[4] Black, Henry C., Black's Law Dictionary, St.Paul:West Publishing, 1979, hal 291.
[5] Abdulkadir  Muhamad,  1992,  Hukum  Perikatan,  Citra  Aditya  Bandung, hal.78.
[6] Herlien  Budiono,  2009,  Ajaran  Umum  Hukum  Perjanjian  dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra   Aditya Bakti, Bandung, hal.3.
[7] Herlien  Budiono,  2009,  Ajaran  Umum  Hukum  Perjanjian  dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.5.
[8] Sudikno,  2010,  Penemuan  Hukum,  Universitas  Atma  Jaya,  Yogyakarta,, hal.7.
[9] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsional dalam Kontrak Komersil “Kencana, Jakarta, 2010, hal 25.
[10] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 4.
[11] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal 110-111
[12] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal 117-118
[13] Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal.81.
[14] Herlien  Budiono,  2009,  Ajaran  Umum  Hukum  Perjanjian  dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra   Aditya Bakti, Bandung, hal.30-31.

[15] Gunawan Widjaja,2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.281-282.
[16] Subekti, Hukurn Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.
[17] Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 5.
[18] Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4.
[19] J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, hlm.128.
[20] Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996, hlm.98
[21] Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet ke 3, 1987, hlm 61
[22] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 127
[23] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2004, hlm.209-210
[24] R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10
[25] Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal.147-156.
[26] Herlien  Budiono,  2009,  Ajaran  Umum  Hukum  Perjanjian  dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra   Aditya Bakti, Bandung, hal.38.

[27] Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung:Citra Aditya, 2010, Hlm.67.

[28] Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung:Citra Aditya, 2010, Hlm.70.

[29] Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung:Citra Aditya, 2010, Hlm.71.
[30] Komariah, Hukum Perdata, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm.172